Jejak (yang akan) Terukir

Hidup itu singkat. Manusia bisa bertahan di muka bumi ini rata-rata hanya berusia 63 tahun. Terlalu singkat. Jika usiaku maksimal hanya 63 tahun, berarti sudah seperdua usiaku sudah terlewat. Padahal baru kemarin rasanya terlahir di dunia. 

Hal yang mungkin menjadi penyesalan selama ini adalah aku tidak meninggalkan jejak yang membekas di seperdua perjalananku. Jejak yang terbentuk begitu samar, tidak jelas bahkan tanpa berbekas. Dan sayangnya aku mengukir jejak di atas pasir bukan di atas batu. Jejakku dengan begitu cepat tersapu ombak. Tanpa belas kasih berlaku kejam padaku yang tanpa disadarinya sebenarnya akulah yang terhapus. Saat menilik ke belakang, aku sudah tidak ada lagi. Jejak itu hilang.

Aku tidak menyalahkanmu, ombak. Seandainya bukan kamu yang aku pilih sebagai kanvas telapak kakiku. Seandainya batulah yang aku ukir. Seandainya..

Tidak akan kembali lagi usiaku yang seperdua, meski menangis darah memintanya. Sedikit terhibur kala orang-orang mendengungkan "Hidup itu bukan masa lalu, atau masa depan, tapi masa sekarang". Cukup untukku yang mulai bisa mengatakan "Hidupku bukan di masa lalu. Tapi aku menghargai masa lalu itu. Karena ia, aku ada saat menuliskan tulisan ini. Hidupku bukan di masa depan. Tapi aku ada sekarang untuk menciptakan masa depanku". 

Cukup melegakan karena dengan seperdua usiaku yang terlewat dan sudah terhapus tanpa meninggalkan jejak, di perbatasan seperdua itu ternyata ada batu. Cukup banyak untuk aku ukir. 

Bukannya mulai mengukir, aku malah terdiam membeku. Padahal pantai cukup hangat karena terik matahari. Aku harusnya kegerahan, dan minimal hal yang aku lakukan mengibas-ngibaskan tangan berharap udara cukup menyejukkan. Pokoknya bergerak, walau gerakan sekecil apapun. 

Aku terdiam saat memikirkan "Dengan apa batu itu akan aku ukir? Aku tidak cukup punya tenaga mengukir batu. Aku tidak punya alat canggih yang bisa melunakkannya. Aku tidak punya cukup kesabaran mengukir walau satu jejak di batu itu, akan memerlukan waktu yang sangat lama". 

Memikirkan itu saja membuat emosi tidak stabil. Tapi kembali tersadarkan bahwa tidak penting jejak seperti apa yang mampu aku ukir. Ukiran tetaplah ukiran, walau sejelek apapun hasilnya. Aku hanya akan mengukir jejak. Jejak di batu yang satu tidak berbentuk akan ada batu berikutnya untuk diukir. Jika masih berantakan, garis ukir masih terlihat kasar aku bisa melanjutkan ke batu selanjutnya. 

Tidak peduli berapa banyak batu yang gagal aku ukir. Batu berikutnya masih tersedia menunggu ukiranku yang kesekian kalinya. Menunggu jejak yang garis ukirnya halus. Ada saatnya nanti jika aku menilik lagi ke belakang, jejak-jejak itu tidak hilang. Jejak itu masih membekas. 






Bicara saat tidak 'Dewasa'

Kapan akan dewasa? Sering kali pertanyaan ini singgah dibenakku. 

Bersikap kekanakan meski itu melegakan untuk waktu tertentu, tapi jadi memuakkan untuk beberapa waktu kemudian. Mengambil kesimpulan tidak ada yang mengerti kita, ini sungguh memalukan menurutku, dan kadang aku muak jika perasaan seperti ini menghampiriku. Kadang memaki diri sendiri adalah jalan terakhir yang aku lakukan untuk menetralkan kembali perasaan aneh tersebut. Apa sebenarnya yang aku mau??!

Sebenarnya memang tidak ada yang mengerti diri kita, tak terkecuali diri sendiri. Ada masanya pada waktu tertentu kita mampu berdamai dengan diri, dan pada waktu itu juga kita merasa kita memahami diri kita seperti apa dan maunya apa. Jika seperti ini kita merasa mampu dan siap memberi pengaruh paling tidak memberi wejangan kepada teman atau kerabat. Mungkin ini adalah saat-saat jiwa stabil. 

Lain halnya jika jiwa itu tidak stabil. Jangankan untuk memahami diri sendiri, untuk  berfikir positif saja terasa sulit untuk dilakukan. Percayalah, terasa sangat menjengkelkan dan sesak. Mungkin dipengaruhi oleh berbagai hal yang tanpa kita sadari, semua itu menumpuk dan dengan sedikit sentilan maka akan meledak. Sesekali oke lah, tapi akan menjadi masalah jika perasaan seperti itu dibawa berlarut-larut. Tidak ada usaha untuk mengendalikannya, malah dengan enggan membiarkan lepas tanpa kendali. Tidak aku mengerti apa pemicu perasaan yang meledak-ledak seperti itu. 

Mengharapkan orang lain untuk mengerti kita padahal diri sendiri tidak mengerti apa maunya. Hal yang mustahil menurutku. Aku merasakan kalau memahami orang lain itu lebih mudah, menyenangkan dan membahagiakan daripada memahami diri sendiri. Tapi di lain waktu pertanyaan baru pun muncul, bagaimana mungkin bisa memahami orang lain dengan diri sendiri saja tidak mengerti? Sungguh aneh. 

Bergulat dengan hal seperti ini bisa membuat gila. Aku kembali tersadar dengan penyesalan biasanya. Sadar jika sikapku yang kekanakan lagi-lagi melukai orang sekitarku, tak terkecuali partner. Untungnya mereka selalu berlapang hati memberi maaf dan memaklumi setiap tingkah konyolku.

Hah, kalau diingat kembali membuatku geli kadang. Aku tau apa sumber pokok masalahnya yaitu, kurangnya pengendalian diri. Tapi tetap saja sering kecolongan. Memang, hal yang paling sulit dilakukan itu adalah melawan diri sendiri. Dan tentu saja bukan hal yang mustahil untuk dicapai. 



Capres 'Terlahir Baru'


Syarat Cinta

Kita akan belajar. Karena masih banyak yang harus kita pelajari. Hubungan ini harus 'mengkayakan' kita. Tidak harus serba bisa dan sempurna aku rasa. Kita hanya cukup saling mengerti saja. Paham akan karakter masing-masing dan berusaha untuk tenggang rasa.

Gelas Jiwaku

Cukup membingungkan aku harus mulai darimana untuk menjelaskan siapa pemilik hati ini sekarang. Semua ini mungkin terkesan terlalu cepat atau memaksa. Tapi aku tegaskan, aku memilih dia untuk aku cintai dengan penuh penghormatan dan bangga bukan karena aku kesepian dan ingin bersegera mengisi gelas yang baru saja kosong. Bukan. 

Begitu cepat aku mengosongkan gelas itu. Kenapa bisa? Inilah hebatnya keikhlasan. Ikhlas menerima dan ikhlas memberi. Ikhlas menerima kalau keadaan tidak selalu sama. Keadaan itu tidak selalu memihak kita. Ikhlas menerima dalam artian kita sadar bahwa hidup kita bukan hanya tentang kita. Kita hidup bukan hanya untuk selalu memenuhi setiap ego kita. Kita hidup dan hidup kita selalu ada kepentingan orang lain di dalamnya. Ikhlas menerima fakta ini memungkinkan kita untuk ikhlas memberi. Memberi kebahagiaan kepada orang yang lebih membutuhkan. Mampu memberi adalah juga bentuk lain dari kebahagiaan itu sendiri.

Aku memilih dia karena aku berharap dia juga memilihku sebagai pemilik hatinya. Yah, benar sekali. Aku tidak ingin pilihanku sia-sia nantinya jika orang yang aku 'akan cintai' tidak memberikan izin untuk aku cintai. Cinta itu membutuhkan balasan, itu sudah pasti dan sudah seharusnya. Karena jika hanya cinta satu pihak saja itu bukan cinta namanya. Hanya akan membuang-buang energi dan menguras emosi saja. 

Membangun cinta memang tidak mudah. Semua itu pasti diawali dengan keraguan dan ketidakpastian. Keraguan akan perasaan yang baru tumbuh. Bingung menterjemahkan apakah itu cinta atau hanya sekedar kekaguman saja. Keraguan untuk memastikan apakah dia adalah orang yang tepat untuk kita cintai dan apakah kita pantas untuk mendapatkan cinta darinya. Dan ketidakpastian itu terlalu menyesakkan jika terlalu lama dipendam.

Tidak mudah  membangun cinta. Waktu yang panjang juga bukan patokan untuk menuju proses itu. Saat ini aku belajar bahwa cinta itu terdiri dari 2 point penting yang harus ada yaitu konsekuen dan mau bertumbuh. Saat mulai memilih dan dia membukakan pintu hatinya, saat itu tanggungjawab untuk menjaga hati harus dilakukan. Berfokus satu hati. Yakin bahwa dia adalah orang yang selama ini ditunggu kehadirannya untuk menemani hari-hari kita. Yakin bahwa dia adalah orang yang kita cintai dengan rasa bangga.

Cinta dan memantaskan diri tidak pernah lepas satu sama lain. Ini sudah menjadi hukum alam. Pantas dan mampu menerima kepantasan. Memantaskan diri terlebih dahulu baru menerima kepantasan. Tapi ada pengecualian bagi orang yang terlanjur mencinta, seperti aku. Yaitu kesempatan untuk bertumbuh. Bersyukur sekali bisa mendapatkan kesempatan bertumbuh bersamanya. Memantaskan diri itu terasa lebih ringan dan natural.

Ah, satu point penting lagi yang hampir aku lupa yaitu, kenyamanan. Aku mendapatkan rasa nyaman saat berkomunikasi dengannya. Tidak dibuat-buat. Tidak juga memaksakan diri untuk menciptakan kenyamanan itu. Mengalir dan hadir begitu saja. Saat waktu mengizinkan aku dan dia untuk bertemu, tidak ada kecanggungan sama sekali. Seolah kami bagian dari satu dan lainnya. Dan seolah sudah mengenal satu sama lain jauh sebelum cinta itu hadir. Bagiku dia adalah jawaban dari doa. Baginya aku adalah jawaban dari doa. Mungkin itulah sebabnya aku dan dia merasa nyaman. Karena dia adalah doa yang terjawab.
==== R ====





Serbuk Menabur Putik

Aku mencintainya. Menyayanginya. Tidak ada kata-kata yang dapat mewakili perasaan ini padanya,  selain "I love you". Rasa cinta ini tumbuh begitu saja. Bak semilir angin yang membawa serbuk bunga dan jatuh di pelukan sang putik, yang pada akhirnya menciptakan sekuntum mawar. Seperti itulah perasaanku padanya.

Do You Think

Do you think you can take over the universe and improve it?
I do not believe it can be done.
The universe is sacred.
You can't improve it.
If you try to change it, you will win it.
If you try to hold it, you will lose it.
~anonim~

Memaksa Untuk Sama

Dia tetap menjalani hari-harinya seperti biasa. Ia masih mencicipi embun pagi. Menyambut mentari. Melewati siang. Mengagumi senja. Merindu bulan. Tidak satupun yang ia lewatkan. Ia tetap tersenyum. Tetap tertawa. 

Tapi ada yang berbeda. Ia merasa seperti ada yang lain dan asing. Beruntun pertanyaan menghampirinya, tapi tidak satupun mampu ia jawab. Dan ia tidak tahu harus mencari jawaban pada siapa dan dimana. Atau mungkin kepercayaan dirinya hilang, tidak bisa mempercayai dan takut tidak dipercaya. Ia gundah. Gelisah.

Pagi baginya hanya sekedar pagi. Udara pagi yang ia hirup tidak lagi menyegarkan paru. Ia sesak. Ingin menolak oksigen yang terlanjur membanjiri saluran pernapasannya, tapi itu tidak mungkin. Ia tidak ingin mati. Ia bahkan terlalu malu pada dirinya sendiri. Terlalu angkuh mengakui, tapi juga tidak ingin terlihat rapuh. Maka ia relakan juga oksigen itu melakukan tugasnya. Membanjiri dan kemudian memuntahkan lagi dengan wujud karbon.

Siang tak menentu baginya. Terik matahari menjadi terlalu terik untuk tubuhnya yang mungil. Mendungnya langit menakutkan untuk disaksikannya. Begitu lama kelamnya langit bertahta di atas kepalanya. Hujan yang turun pun sekarang disertai gelegar petir yang memekakkan telinga. Dan langit tidak segera cerah, mendung masih menyelimutinya. Hujan hanya bermain-main. Ingin berlama-lama bermesraan dengan awan.

Ia takut menunggui senja. Maka ia akan biarkan senja lewat begitu saja. Ia hanya duduk di deretan bangku stasiun dan membiarkan pikirannya ditelanjangi kaki-kaki yang berlalu lalang. Ingin memperlihatkan makna setiap tatapannya, namun yang tampak hanya kekosongan. Ia baru beranjak saat senja lelah menunggu dan memilih berlalu.

Malam adalah waktu baginya menanti kehadiran bulan dan menggilai aroma angin malam. Tapi ternyata bulan tak mau lagi bersahabat dengannya. Angin malam menjadi musuh baginya. Sekarang dengan mudah tubuh itu mengatakan tidak. Angin malam melemahkannya. Sedangkan bulan tak kunjung menampakkan senyum. Lelah dan ringkuk dipaksanya tubuh itu menikmati apa yang ada. Biarlah bulan tak lagi sama. Biarlah angin malam tak lagi ramah. Biarlah. Ia hanya akan menerima saja. Dan tetap setia menunggu pagi.

Ia pun tersenyum.

Mereka,

Pernah terpikir bagaimana jika suatu saat nanti kita kehilangan orang tua kita, ayah dan ibu? Pernah membayangkan bagaimana hidup ini tanpa kehadiran mereka? Mungkin sebagian dari kita sudah mengalami kehilangan itu. Entah itu kehilangan ibu, atau kehilangan seorang ayah. Entah itu karena kematian, perceraian atau karena sebab lainnya yang membuat salah satu atau keduanya menghilang dari kehidupan kita. Dan orang-orang ini sangat mengerti sekali apa itu makna kehilangan. 

Bagi yang masih mempunyai orang tua yang utuh, ada ayah dan ibu, untuk berfikir ke sana adalah hal yang menakutkan mungkin. Bagaimana tidak, hidup bersama orang yang tulus menyayangi dan mencintai kita tapi tiba-tiba harus kehilangan mereka. Itu tidak dapat dibanyangkan sama sekali. Siapa lagi yang akan menjaga kita, melindungi, mendidik kita, mengomeli kenakalan-kenakalan kita, merangkul kita saat kita terpuruk, menasehati kita dengan penuh kasih sayang. Sungguh adalah sesuatu yang tidak terbayangkan, dan tidak ingin dibayangkan. 

Orang tua. Bagaimana pun keadaan mereka, mereka adalah orang tua kita. Mereka tidak "gaul", mereka "gaptek", mereka cerewet, mereka tidak fashionable, mereka tidak berpendidikan tinggi, mereka tidak kaya, mereka suka marah-marah, mereka bahkan main tangan, mereka cuek, mereka lebih milih kerjaan dibanding mengajak kita ngobrol, mereka over protectiv, mereka tetaplah mereka. Orang tua kita. 

Pasti pernah sebagian dari kita menyesali hidup. Kenapa harus hidup dalam kesusahan? kenapa kita tidak dilahirkan dari otang tua yang kaya, berkecukupan, tidak malu-maluin? Ah, teman. Hidup tidak akan berpihak pada orang seperti kita yang suka mengeluh dan jauh dari bersyukur. Hidup bahagia hanya bagi orang-orang yang mau mensyukuri apa yang ada padanya. Dan orang yang dengan keikhlasannya mau untuk menerima keadaanya. Hidup bahagia hanya bagi orang yang mau mengambil pelajaran dalam setiap kejadiam yang menimpanya. Dan mau merubah segala ketidakberdayaan menjadi kebanggaan. Hidup bahagia hanya bagi mereka yang mencintai orang tuanya melebihi cinta pada dirinya sendiri. Bagaimana dengan kita? Kita yang seperti ini? Kita yang selalu "menjauhi" mereka, orang tua kita.

Pernah bertanya pada orang-orang yang "tidak lagi" memilki mereka/ayah/ibu? Pernah menyempatkan diri untuk mengambil makna dari kisah hidup orang-orang seperti itu? Tidak penting mereka orang jahat atau orang baik. Yang penting bagi kita kisah hidupnya, makna hidup baginya. Selanjutnya biar kita yang mensortir mana yang perlu kita ambil, mana yang perlu kita buang. Toh, kita sudah dewasa, bukan anak kecil lagi.

Untukku. Orang tua/ayah/ibu adalah orang yang selalu aku rindukan. Wajah yang selalu aku bayangkan kala sujud dan doa.. Wajah yang terlalu samar. Wajah yang hampir tidak dapat aku lukiskan. Sosok ayah bagiku adalah seorang bapak yang berjuang membanting tulang, siang hingga malam, hanya untuk memenuhi keinginan anak-anaknya, menopang masa depan mereka hingga mengecap pendidikan yang layak. Tidak pernah kudengar rintihan kesakitannya kala dunia berlaku kejam padanya. Laki-laki yang dengan"nya" aku ada di dunia ini. Apakah dia mengerti apa itu kata "bermanja"? pernahkah aku mendapatkannya dari sosok ini? Tidak. Kami tidak paham. Kami tidak membutuhkannya.

Lantas, bagaimana dengan perhatian? Perhatian yang seperti apa dulu. Perhatian yang sering kamu alami, misalnya sekedar bertanya "bagaimana sekolahmu? sudah mengerjakan tugas rumah? kamu perlu membeli buku nak? apa teman-temanmu menjahilimu? bla bla bla..." Tidak ada yang seperti ini. Perhatiannya bagiku, adalah kala ia marah dengan diamnya. Berkata tanpa mengeraskan suaranya dengan pituah-pituah yang tidak aku mengerti. Hanya padaku. Aku tidak pernah kena tangan seperti saudara-saudaraku yang lain. Kata orang-orang aku penangis jadi susah untuk dimarahi. 

Kedekatan dengan seorang ayah bagiku hanya sebatas minta uang untuk biaya sekolah. Selebihnya tidak. Aku terlalu menutup diri. Oh bukan, aku mewarisi sifat ayahku, bapakku. Bukan berarti aku tidak menyayanginya. Bukan berarti dia tidak menyayangiku. Cintanya sangat besar untukku. Begitupun aku sangat mencintainya. Hanya saja kami tidak mampu mengungkapkannya dengan gamblang. Bukan seperti itu kami berbicara.

Ibu. Aku tidak bisa mendeskripsikan sosok yang sudah melahirkanku ini. Aku telah lama kehilangannya. Sang pencipta tidak mengizinkanku untuk mengenal sosok ini. Biasanya kala malam hari air mataku akan jatuh tanpa kukehendaki jika merindukannya. Tapi tidak selalu. Hanya jika aku mengalami masa-masa sulit yang menguras hati dan perasaan. Tidak terlalu menye-menye. Setelah puas, biasanya aku terlelap :)  


Wajah Baru

Terimakasih, kamu sudah hadir dalam kehidupanku.

Adalah kenangan indah bisa mengenal, mencintai dan menyayangimu. Mencintaimu tanpa alasan. Bukan hanya sekedar bualan. Mempertahankanmu untuk selalu di hatiku sudah kulakukan. Dan itu memberi warna dalam hidupku yang mungkin biasa-biasa saja. Kamulah pelangi. Kamulah mentari.  Kamulah sang bulan. Kamulah hujan yang menggetarkan hatiku. Kamulah senja yang selalu kurindu.  Kamulah langit yang selalu kupandang. Kamulah embun di pagi hari. Kamulah laut dan ombakku. Kamulah “rumput hijau” bukan semak belukar di tepi jalan. Kamulah hutan yang rindang dan mempunyai tarikan magnet yang kuat. Kamulah malam yang menjadi saksi kegelisahanku. Aku mencintai dan menyayangimu dengan rasa bangga.

Terimakasih, kamu sudah mengerti.

Banyak hal yang sudah aku lalui hingga keputusan itu kuambil. Banyak pertimbangan dan pemikiran yang mengiringinya. Kekalutan menggelayutiku memikirkan aku akan kehilanganmu. Ketakutanku begitu besar memikirkan kamu akan terluka dan tidak siap. Rasa bersalah dan tidak berdaya. Semua itu begitu menghimpitku sehingga aku sulit untuk bernafas. Tidak berani kusampaikan rasa seperti itu. Mungkin coretan-coretan aksara di awahita ini mampu mewakilinya. Terimakasih, kamu sudah membacanya.

Terimakasih, untuk tidak mementingkanku diatasNya.

Keikhlasan memperkecil rasa sesak itu. Keyakinanku bahwa ini adalah jalan terbaik. Untukmu, untukku dan untuk kita. Katamu “perjuangan itu sangat pahit, karena balasannya akan sangat manis”. Aku setuju. Balasan yang paling indah adalah kebahagiaanmu dan kita. Tidak ada yang sia-sia di dunia ini, jika ridhaNya yang kita harapkan.  Terimakasih, kamu telah mengikhlaskanku karena cintamu padaNya.

Terimakasih, untuk tetap menerimaku

Inilah wujud baru kita. Ruang tanpa sekat dan wajah tanpa cadar. Senang bisa merangkulmu dalam kehangatan sebagai saudara dan sahabat. Sebenarnya status seperti ini sudah pernah kita lalui, dahulu sebelum benih-benih cinta tumbuh. Kita hanya kembali seperti semula. Bukan merubah  haluan karena masih berkeinginan untuk tetap bersama. Bukan. Kondisi yang berbeda, tentu kita juga harus menyikapinya dengan cara yang berbeda. Jika tidak ingin tersakiti dan merasa tercurangi oleh keadaan. Kita tidak ingin merasa  semua ini adalah suatu ke-tidak-adil-an. Semua sudah ada garis dan ketetapanNya.

Aku sudah memilih. Kamu juga sudah memilih. Inilah pilihan kita.   




Hutan Belukar


Tidak ada yang tau seperti apa persisnya jalan yang akan ditempuh. Namun, jalan itu bukannya tidak ada. Hanya saja masih di tumbuhi semak belukar. Atau bahkan hutan rimba. Atau kamu suka dengan pengandaian seperti air laut? Hujan? Senja, barangkali?

Walau aku suka laut, hujan dan senja tapi semak belukar dan hutan rimba juga tidak kalah menariknya. Keduanya penuh misteri. Ganas dan juga menyesatkan. Semak belukar. Siapa yang tidak kenal rupa tanaman ini. Tidak tampak ada keelokan padanya. Tanaman perdu yang dapat tumbuh hampir di segala jenis tanah, ia lah si semak belukar. Bagaimana jika jalan yang akan kamu tempuh, harus melewati  semak belukar? Ia bukan lagi belukar yang dapat kamu cabut begitu saja. Ia dan semak-semak lainnya dalam satu simbiosis. Belukar yang bisa membelit langkahmu. Jika sedang sialnya, kamu juga tak jarang akan dikagetkan dengan desisan ular tanah. Itu hanya berlaku untuk belukar di tepi jalan. Belukar tak terawat, belukar tak tertata. Belukar yang dipenuhi ular berbisa. 

Pernah menginjakkan kaki di lapangan sepakbola atau lapangan golf? Bagaimana menurutmu tentang semak belukarnya? Ah, aku lupa. Kamu menyebutnya bukan semak belukar lagi, tapi "rumput hijau". Lupa terkadang. Itulah beda belukar dalam "sangkar" dengan belukar di tepi jalan. Kakimu akan sangat nyaman menapak di atasnya. Bahkan mungkin kamu akan melepaskan alas kakimu untuk merasakan kelembutan dan kemegahan "rumput hijau" itu. Kamu merasa tidak akan tersesat di dalamnya. Tidak akan ada jebakan, pikirmu. Tidak akan ada ular-ular menakutkan. Kamu akan nyaman berjalan. Sungguh aku pertegas, itu hanya pikiranmu.

Bagaimana dengan hutan rimba? Hampir sama dengan belukar. Tapi tempat ini adalah sarang misteri, sekaligus tempat yang paling disukai oleh pemburu. Tentu saja karena misterinya.

Pohon. Suara pohon. Mereka terlihat diam, tapi sesungguhnya pohon-pohon itulah yang paling riuh. Kala angin bertiup, dia berbisik. Kala burung bertengger, dia berkicau. Kala monyet berayun, dia memekik. Hebat sekali penyampaiannya padamu. Jika kamu tersesat, bertanyalah pada pohon kemana arah jalan keluar. Tapi kamu akan keluar kemana? 

Hutan tidak sedangkal semak belukar. Ia lebih bermagnet menyeret dirimu. Jauh ke dalam hutan. Boleh jadi kamu beranggapan kamu tersesat, atau memang itu tujuanmu mengikuti tarikannya. Hanya kamu yang tahu jawabannya. 

Seperti apa dewasa???

Aku tidak cukup dewasa.
Atau belum dewasa?

Benar kata orang, usia tidak bisa jadi indikator kedewasaan seseorang.

Saat ini sebenarnya sedang malas untuk menulis.
Lagian tidak tahu mau menulis apa.
Otak terasa buntu.

Hampir kepala tiga (??) usiaku.
Belum ada pencapaian yang berarti dalam hidup.
Bukannya tidak mensyukuri, tapi ya itulah yang aku rasakan.

Soal cinta dan hati, juga sama saja nasibnya.
Bisa dibilang ini adalah masa kritis.
Antara hidup dan mati.
Koma.

Kalau menurut diagnosa "dokter" aku kena kanker stadium akhir.
Hah, ada-ada saja.

Bisa jadi seperti itu.
Jika ingin sembuh, aku harus mati dulu.

Hidup lagi.
Dalam reinkarnasi. 

Dengan Rin yang baru

Dengan Rin yang baru.

Tapi ya itulah
Aku seperti 
Hidup segan, mati tak mau

Aku,
aku belum dewasa, barangkali

Hah, malasnya menulis ini

Racikan Baru

Mari kita bicara
Berdua saja
Dari hati ke hati tentunya

Kamu masih mendengarku?
Iya. Aku ingin berkeluh kesah sedikit
Masih inginkah kamu mendengarku?

Tidak akan panjang lebar
Kita buat sesingkat mungkin saja

Masih samakah rasa kita?
Mungkin tidak.
Yakinlah,
iya, tidak sama lagi

Kamu lelah?
iya, dan juga, tidak

Lantas?
Ramuannya kita racik baru lagi
Bukan seperti yang dulu

Kamu bosan?
Tidak. Hanya saja,
ramuan kita jarang tersentuh
Tidak tau lagi rasanya seperti apa

Maksudnya, hambar?
Bukan. Aku tak bisa meracik lagi
Bejananya tak lagi utuh

Tak akan hilang
Hanya berubah rasa


Rasa yang lebih tawar
Pelepas dahaga

Bukan lagi memabukkan
Bukan lagi vanilla dan cherry

Kamu bisa?
Iya. Tidak akan hilang
Tidak akan hilang
 
Hanya berubah rasa
Meramu lagi

Rasa yang lebih tawar
Bisa dinikmati kapan saja

Benar.
Tak ada cadar
Tak ada tirai

Hanya cara baru
Iya.
Cara lama tak bisa lagi

Ramuan kita kali ini,
untuk semua penikmat

Aku merindukan para penikmat itu
Terasa menjauh mereka
Iya. Dari gubuk kita tentunya

Undang mereka lagi
Kita saja terasa sunyi

Kita nikmati racikan baru
Iya. Bersama mereka.

Mereka terlalu berharga

Kita saja terlalu sunyi

Siapkan undangan, ya?
Kita sambut tamu kehormatan kita

Gubuk ini kita jadikan lagi istana
Iya. Tentu saja karena mereka

Aku merindu mereka

Kita saja,
terlalu sunyi

 
 
 


Potongan Memori (Part 2)

Laju mobil yang membawaku berangsur pelan. Memasuki gang. Berhenti di depan rumah cantik dan bercat pink dan pagar tembok coklat. Rumpun pohon palm di sudut pekarangan itu adalah objek yang menarik untuk aku pandangi setiap kali datang berkunjung. Atau mungkin sudah menjadi petunjuk khusus agar aku tidak salah mengenali rumahmu.

Kupijakkan kakiku yang sedikit goyah. Menatap tenda yang berdiri dengan  anggunnya di pekarangan rumah. Aku tersenyum. Tidak kupahami jenis senyum apa yang tergambar saat itu. Kututup mata ini. Dengan tarikan nafas pelan udara malam yang dingin memasuki rongga paruku. Dinginnya menyakitkan, tapi kemudian yang terasa adalah kesejukan.

Tidak akan ada air mata. Tidak akan ada rasa sakit hati. Tidak akan ada rasa dikhianati. Tidak akan ada rasa dicampakkan. Tidak akan ada rasa luka. Tidak ada di hatiku rasa-rasa seperti itu. Tidak akan kuizinkan rasa-rasa itu mengubahku menjadi monster buruk laku. Aku mengikhlaskanmu. Selamat menempuh hidup baru, Mut”

Ajaib. Kata-kata itu mengubahnya menjadi senyuman yang paling mendamaikan hatiku. Barulah kulangkahkan kaki ini untuk mengetuk daun pintu coklat rumahmu. Lewat tengah malam tentunya. Maaf mengganggu tidurmu. Hmm malam pertama kamu dan dia. Biar saja.. 

Apa ini? Kamu menarik tanganku ke kamar pengantin? Hal gila apa lagi ini? Suamimu mana? Kalau ada yang melihat bagaimana? Matilah aku.. Kamu menutup pintu dan menguncinya. Aku hanya diam terpaku. Mendapati kamar yang indah, nuansa pink. Kasur empuk dengan bed cover pink.  Meja hias di sudut kamar sebelah kiri dan rangkaian kembang mempercantiknya. Dekorasi simple nan cantik.

Aku tersadar. Mataku menelusuri sudut kamar. Mencari sosok satu orang lagi. Suamimu. Melihat tampangku yang seperti orang ketakutan, kamu akhirnya paham. Dan mulai menjelaskan tradisi adat sekitar yang belum mengizinkan seorang laki-laki tinggal di rumah pengantin sebelum digelar resepsi. Jadi malam ini dia tidak ada. Ah, leganya. Senyum sumringah kami begitu lepas.

Berada di kamar pengantin berdua dengan orang yang kamu cintai, menimbulkan imaginasi yang nakal. Pastinya.

Jangan membayangkan yang aneh-aneh. Malam itu kami tidak melakukan apa-apa selain tidur di lantai beralaskan karpet, berselimutkan kain tipis, satu berdua. Tidur berpelukan dan merasakan hangatnya nafas masing-masing, melawan dinginnya udara. Kami terdiam, tidak saling berbicara. Pikiran kami melayang entah kemana. Meresapi setiap detik dan menit yang terjadi sebelum kamar pengantin ini ada. Sebelum akad nikah itu terucap. Sebelum tanggal 10 bulan 11 tahun 2012.

Hari itu resepsi pernikahanmu berjalan dengan lancar, meriah dan khidmat. Kulihat ada aura kebahagiaan di wajah  setiap orang, khususnya mama dan papa. Senangnya bisa mengenal keluargamu. Aku tidak lagi dianggap orang asing atau sekedar tamu. Tapi sebagai keluarga, bagian dari anggota keluarga. Buktinya adalah seragam yang aku pakai hari itu, tidak ada bedanya dengan seragam keluarga inti. Terharu.

Ditengah acara, aku selalu mencuri pandang ke arahmu yang duduk di pelaminan sana. “kamu akan baik-baik saja, Mut. Mulai sekarang bukan aku lagi yang akan menjagamu, tapi dia, laki-laki yang duduk di sampingmu”. Apa ini? Sepertinya fotografer itu menyadarinya. Beraninya dia mengambil gambarku kala menatapmu. Aish..merahnya muka ini.

Aku mau pamit. Keesokan harinya setelah acara selesai.

Tapi ada yang mengganggu pikiranku. Curhatmu semalam membuatku sesak nafas. Kala kita berbincang tentang kita di masa depan. Seuntai nasehat dan harapanku padamu dalam menjalani kehidupan berumahtangga. Semua kamu tanggapi dengan luka dan airmata. 

Hanya dengan cara ini supaya mereka tidak curiga kak. Adek tidak pernah mencintainya. Bisa menerima pernikahan ini hanya karena rasa kagum saja. Dia memang baik. Tapi rasa itu bukan rasa yang adek rasakan terhadap kakak. Sosok kakak tidak akan pernah tergantikan, oleh siapapun, sampai kapanpun. Tidak akan sanggup adek hidup tanpa kakak. Setelah semua ini, apa kakak akan meninggalkan adek?”.

Seperti tersengat lebah, aku tidak mampu berucap apapun. Bukan kata-kata seperti itu yang aku bayangkan. Dan tentu bukan yang aku harapkan untuk aku dengar saat itu. Permintaan maaflah yang seharusnya kamu ucapkan padaku. Bentuk penyesalanmu karena memilih menikahinya. Meninggalkanku setelah semua yang terjadi antara kita. Harusnya kamu seperti itu. Harusnya pernyataanmu menjawab pergolakan hatiku kala di perjalanan malam itu. Harusnya... Harusnya tangisanku tidak sia-sia.

Terdiam beberapa lama. Kami kembali sibuk dengan pikiran masing-masing.

" Kenapa tidak katakan itu sebelumnya? kenapa sekarang?" Aku menatapnya lagi.

"Sebelumnya dah pernah dek bilang kan sama kakak. Sikap kakak seolah mendukung. Kakak ga pernah menahan dek, atau setidaknya berusaha mempertahankan dek. Adek ga ngerti jalan pikiran kak. Kakak selalu terlihat plinplan. Kadang sikap kakak seolah menginginkan dek, tapi terkadang tidak seperti itu. Kakak tidak pernah meminta dek untuk tinggal di sisi kak."

Setiap kalimat yang diucapkannya seperti mencabik-cabikku. Aku merasa bodoh. Dan tidak berdaya. Orang bodoh memang selalu tidak berdaya.
 
"Apa dengan menikahinya adalah sebuah pilihan yang melegakanmu?" Aku berusaha menahan air mata. Tidak ingin menangis di depannya.

"Paling tidak untuk saat ini, itu adalah pilihan yang tepat kak. Pa n ma alasan selanjutnya. Tidak ingin membuat mereka kecewa."  Kamu menangis. "Tapi adek butuh kakak untuk mendampingi adek. Ga kan sanggup adek berjalan sendiri." Aku mengusap air matanya. Kami saling menguatkan dengan membagi kehangatan lewat pelukan.
 
Goyah. Itulah yang terjadi padaku. Setelah semua yang aku lakukan untuk menata hatiku kala perjalanan malam itu, sekarang runtuh seketika. Ternyata aku tidak cukup kuat.

Jeritan hatiku malam itu.

Kenapa? Skenario apalagi yang Engkau rencanakan, Tuhan? Bagian mana yang aku lewatkan sehingga drama ini belum juga usai?  Harusnya aku tidak bertanya lagi padaMu. Aku tau bagian mana yang aku lewatkan. Tidak mengakui diri sepenuhnya, benarkan, Tuhan? Hah..Lantas apa artinya jika aku mengakui dengan sesadar-sadarnya diri, Engkau merestui? 

          
Dalam perjalanan pulang, kembali airmataku meleleh lagi. Aku ingat setelah pembicaraan panjang kami malam itu, kami memutuskan untuk saling menghubungi dan mengetahui kabar satu sama lain. Aku berjanji padanya untuk tetap mendampinginya dengan caraku. Tetap menjadi kakak baginya. Tetap memelihara cinta ini untuknya, seperti yang ia lakukan.

Bagi yang membaca tulisan ini, pasti menganggap kami melakukan kebodohan yang dibuat-buat. Terlalu mendramatisir keadaan dan menjerumuskan diri sendiri pada kesakitan. Memang benar adanya. Kami melakukan kebodohan. Kami telah berbuat jahat. Kami menjadi pengkhianat. Kami menodai janji pernikahan. Berjanji untuk tetap menjaga hati, membenarkan ‘cinta itu tidak pernah salah’, egoiskah?