Hidup itu singkat. Manusia bisa bertahan di muka bumi ini rata-rata hanya berusia 63 tahun. Terlalu singkat. Jika usiaku maksimal hanya 63 tahun, berarti sudah seperdua usiaku sudah terlewat. Padahal baru kemarin rasanya terlahir di dunia.
Hal yang mungkin menjadi penyesalan selama ini adalah aku tidak meninggalkan jejak yang membekas di seperdua perjalananku. Jejak yang terbentuk begitu samar, tidak jelas bahkan tanpa berbekas. Dan sayangnya aku mengukir jejak di atas pasir bukan di atas batu. Jejakku dengan begitu cepat tersapu ombak. Tanpa belas kasih berlaku kejam padaku yang tanpa disadarinya sebenarnya akulah yang terhapus. Saat menilik ke belakang, aku sudah tidak ada lagi. Jejak itu hilang.
Aku tidak menyalahkanmu, ombak. Seandainya bukan kamu yang aku pilih sebagai kanvas telapak kakiku. Seandainya batulah yang aku ukir. Seandainya..
Tidak akan kembali lagi usiaku yang seperdua, meski menangis darah memintanya. Sedikit terhibur kala orang-orang mendengungkan "Hidup itu bukan masa lalu, atau masa depan, tapi masa sekarang". Cukup untukku yang mulai bisa mengatakan "Hidupku bukan di masa lalu. Tapi aku menghargai masa lalu itu. Karena ia, aku ada saat menuliskan tulisan ini. Hidupku bukan di masa depan. Tapi aku ada sekarang untuk menciptakan masa depanku".
Cukup melegakan karena dengan seperdua usiaku yang terlewat dan sudah terhapus tanpa meninggalkan jejak, di perbatasan seperdua itu ternyata ada batu. Cukup banyak untuk aku ukir.
Bukannya mulai mengukir, aku malah terdiam membeku. Padahal pantai cukup hangat karena terik matahari. Aku harusnya kegerahan, dan minimal hal yang aku lakukan mengibas-ngibaskan tangan berharap udara cukup menyejukkan. Pokoknya bergerak, walau gerakan sekecil apapun.
Aku terdiam saat memikirkan "Dengan apa batu itu akan aku ukir? Aku tidak cukup punya tenaga mengukir batu. Aku tidak punya alat canggih yang bisa melunakkannya. Aku tidak punya cukup kesabaran mengukir walau satu jejak di batu itu, akan memerlukan waktu yang sangat lama".
Memikirkan itu saja membuat emosi tidak stabil. Tapi kembali tersadarkan bahwa tidak penting jejak seperti apa yang mampu aku ukir. Ukiran tetaplah ukiran, walau sejelek apapun hasilnya. Aku hanya akan mengukir jejak. Jejak di batu yang satu tidak berbentuk akan ada batu berikutnya untuk diukir. Jika masih berantakan, garis ukir masih terlihat kasar aku bisa melanjutkan ke batu selanjutnya.
Tidak peduli berapa banyak batu yang gagal aku ukir. Batu berikutnya masih tersedia menunggu ukiranku yang kesekian kalinya. Menunggu jejak yang garis ukirnya halus. Ada saatnya nanti jika aku menilik lagi ke belakang, jejak-jejak itu tidak hilang. Jejak itu masih membekas.
0 Response to "Jejak (yang akan) Terukir"
Posting Komentar
Be nice. No spam