Memaksa Untuk Sama

Dia tetap menjalani hari-harinya seperti biasa. Ia masih mencicipi embun pagi. Menyambut mentari. Melewati siang. Mengagumi senja. Merindu bulan. Tidak satupun yang ia lewatkan. Ia tetap tersenyum. Tetap tertawa. 

Tapi ada yang berbeda. Ia merasa seperti ada yang lain dan asing. Beruntun pertanyaan menghampirinya, tapi tidak satupun mampu ia jawab. Dan ia tidak tahu harus mencari jawaban pada siapa dan dimana. Atau mungkin kepercayaan dirinya hilang, tidak bisa mempercayai dan takut tidak dipercaya. Ia gundah. Gelisah.

Pagi baginya hanya sekedar pagi. Udara pagi yang ia hirup tidak lagi menyegarkan paru. Ia sesak. Ingin menolak oksigen yang terlanjur membanjiri saluran pernapasannya, tapi itu tidak mungkin. Ia tidak ingin mati. Ia bahkan terlalu malu pada dirinya sendiri. Terlalu angkuh mengakui, tapi juga tidak ingin terlihat rapuh. Maka ia relakan juga oksigen itu melakukan tugasnya. Membanjiri dan kemudian memuntahkan lagi dengan wujud karbon.

Siang tak menentu baginya. Terik matahari menjadi terlalu terik untuk tubuhnya yang mungil. Mendungnya langit menakutkan untuk disaksikannya. Begitu lama kelamnya langit bertahta di atas kepalanya. Hujan yang turun pun sekarang disertai gelegar petir yang memekakkan telinga. Dan langit tidak segera cerah, mendung masih menyelimutinya. Hujan hanya bermain-main. Ingin berlama-lama bermesraan dengan awan.

Ia takut menunggui senja. Maka ia akan biarkan senja lewat begitu saja. Ia hanya duduk di deretan bangku stasiun dan membiarkan pikirannya ditelanjangi kaki-kaki yang berlalu lalang. Ingin memperlihatkan makna setiap tatapannya, namun yang tampak hanya kekosongan. Ia baru beranjak saat senja lelah menunggu dan memilih berlalu.

Malam adalah waktu baginya menanti kehadiran bulan dan menggilai aroma angin malam. Tapi ternyata bulan tak mau lagi bersahabat dengannya. Angin malam menjadi musuh baginya. Sekarang dengan mudah tubuh itu mengatakan tidak. Angin malam melemahkannya. Sedangkan bulan tak kunjung menampakkan senyum. Lelah dan ringkuk dipaksanya tubuh itu menikmati apa yang ada. Biarlah bulan tak lagi sama. Biarlah angin malam tak lagi ramah. Biarlah. Ia hanya akan menerima saja. Dan tetap setia menunggu pagi.

Ia pun tersenyum.

0 Response to "Memaksa Untuk Sama"

Posting Komentar

Be nice. No spam