Pernah terpikir bagaimana jika suatu saat nanti kita kehilangan orang tua kita, ayah dan ibu? Pernah membayangkan bagaimana hidup ini tanpa kehadiran mereka? Mungkin sebagian dari kita sudah mengalami kehilangan itu. Entah itu kehilangan ibu, atau kehilangan seorang ayah. Entah itu karena kematian, perceraian atau karena sebab lainnya yang membuat salah satu atau keduanya menghilang dari kehidupan kita. Dan orang-orang ini sangat mengerti sekali apa itu makna kehilangan.
Bagi yang masih mempunyai orang tua yang utuh, ada ayah dan ibu, untuk berfikir ke sana adalah hal yang menakutkan mungkin. Bagaimana tidak, hidup bersama orang yang tulus menyayangi dan mencintai kita tapi tiba-tiba harus kehilangan mereka. Itu tidak dapat dibanyangkan sama sekali. Siapa lagi yang akan menjaga kita, melindungi, mendidik kita, mengomeli kenakalan-kenakalan kita, merangkul kita saat kita terpuruk, menasehati kita dengan penuh kasih sayang. Sungguh adalah sesuatu yang tidak terbayangkan, dan tidak ingin dibayangkan.
Orang tua. Bagaimana pun keadaan mereka, mereka adalah orang tua kita. Mereka tidak "gaul", mereka "gaptek", mereka cerewet, mereka tidak fashionable, mereka tidak berpendidikan tinggi, mereka tidak kaya, mereka suka marah-marah, mereka bahkan main tangan, mereka cuek, mereka lebih milih kerjaan dibanding mengajak kita ngobrol, mereka over protectiv, mereka tetaplah mereka. Orang tua kita.
Pasti pernah sebagian dari kita menyesali hidup. Kenapa harus hidup dalam kesusahan? kenapa kita tidak dilahirkan dari otang tua yang kaya, berkecukupan, tidak malu-maluin? Ah, teman. Hidup tidak akan berpihak pada orang seperti kita yang suka mengeluh dan jauh dari bersyukur. Hidup bahagia hanya bagi orang-orang yang mau mensyukuri apa yang ada padanya. Dan orang yang dengan keikhlasannya mau untuk menerima keadaanya. Hidup bahagia hanya bagi orang yang mau mengambil pelajaran dalam setiap kejadiam yang menimpanya. Dan mau merubah segala ketidakberdayaan menjadi kebanggaan. Hidup bahagia hanya bagi mereka yang mencintai orang tuanya melebihi cinta pada dirinya sendiri. Bagaimana dengan kita? Kita yang seperti ini? Kita yang selalu "menjauhi" mereka, orang tua kita.
Pernah bertanya pada orang-orang yang "tidak lagi" memilki mereka/ayah/ibu? Pernah menyempatkan diri untuk mengambil makna dari kisah hidup orang-orang seperti itu? Tidak penting mereka orang jahat atau orang baik. Yang penting bagi kita kisah hidupnya, makna hidup baginya. Selanjutnya biar kita yang mensortir mana yang perlu kita ambil, mana yang perlu kita buang. Toh, kita sudah dewasa, bukan anak kecil lagi.
Untukku. Orang tua/ayah/ibu adalah orang yang selalu aku rindukan. Wajah yang selalu aku bayangkan kala sujud dan doa.. Wajah yang terlalu samar. Wajah yang hampir tidak dapat aku lukiskan. Sosok ayah bagiku adalah seorang bapak yang berjuang membanting tulang, siang hingga malam, hanya untuk memenuhi keinginan anak-anaknya, menopang masa depan mereka hingga mengecap pendidikan yang layak. Tidak pernah kudengar rintihan kesakitannya kala dunia berlaku kejam padanya. Laki-laki yang dengan"nya" aku ada di dunia ini. Apakah dia mengerti apa itu kata "bermanja"? pernahkah aku mendapatkannya dari sosok ini? Tidak. Kami tidak paham. Kami tidak membutuhkannya.
Lantas, bagaimana dengan perhatian? Perhatian yang seperti apa dulu. Perhatian yang sering kamu alami, misalnya sekedar bertanya "bagaimana sekolahmu? sudah mengerjakan tugas rumah? kamu perlu membeli buku nak? apa teman-temanmu menjahilimu? bla bla bla..." Tidak ada yang seperti ini. Perhatiannya bagiku, adalah kala ia marah dengan diamnya. Berkata tanpa mengeraskan suaranya dengan pituah-pituah yang tidak aku mengerti. Hanya padaku. Aku tidak pernah kena tangan seperti saudara-saudaraku yang lain. Kata orang-orang aku penangis jadi susah untuk dimarahi.
Kedekatan dengan seorang ayah bagiku hanya sebatas minta uang untuk biaya sekolah. Selebihnya tidak. Aku terlalu menutup diri. Oh bukan, aku mewarisi sifat ayahku, bapakku. Bukan berarti aku tidak menyayanginya. Bukan berarti dia tidak menyayangiku. Cintanya sangat besar untukku. Begitupun aku sangat mencintainya. Hanya saja kami tidak mampu mengungkapkannya dengan gamblang. Bukan seperti itu kami berbicara.
Ibu. Aku tidak bisa mendeskripsikan sosok yang sudah melahirkanku ini. Aku telah lama kehilangannya. Sang pencipta tidak mengizinkanku untuk mengenal sosok ini. Biasanya kala malam hari air mataku akan jatuh tanpa kukehendaki jika merindukannya. Tapi tidak selalu. Hanya jika aku mengalami masa-masa sulit yang menguras hati dan perasaan. Tidak terlalu menye-menye. Setelah puas, biasanya aku terlelap :)
0 Response to "Mereka,"
Posting Komentar
Be nice. No spam