Potongan Memori (Part 1)

Mungkin banyak yang bertanya siapa kamu sebenarnya Mut. Aku akan mencoba menceritakan sedikit tentang kita di sini. Ini akan menolongku di masa depan. Mengingat memoriku yang semakin samar tentang kamu. Sungguh aku tidak ingin itu terjadi.
Jujur, rasa ketertarikanku padamu bukanlah pada awal perjumpaan kita. Begitupun rasamu padaku. Rasa itu tumbuh seiring berjalannya waktu. Tahap demi tahap kedekatan kita, mungkin bukan unsur yang disengaja. Tapi tidak bisa juga  dibilang sebuah kebetulan, karena dalam hidup ini tidak ada yang namanya kebetulan. Pada hakikatnya semua sudah diatur olehNya.
Hal-hal yang kita lalui semua berawal dari sebuah kebaikan, yang menurutku kebaikan itu sendiri akan terjadi karena adanya keramahan. Keramahan berbalas keramahan. Perhatian berbalas perhatian.  Rentetan-rentetan yang sebenarnya tidak kita pahami kemana arahnya. Sejak saat itu ada semacam perasaan asing yang mulai tumbuh dalam hatiku. Awalnya aku berfikir itu hanya semacam kasih sayang seorang kakak kepada adiknya, karena memang usia kita terpaut cukup jauh, 4 tahun. Dan secara aku adalah anak bungsu, tapi sempat aku tanyakan padamu, bagaimana rasanya memiliki seorang adik, kamu menjawab “sangat menyebalkan, bikin sakit kepala dan bikin jengkel..”.Hehe.. Jawaban yang mengundang tawa.
Waktu terus berlanjut. Oya, kamu memang orang yang beruntung. Ciuman pertamaku kamulah yang merenggutnya. Ah, itu terjadi begitu saja. Tidak begitu ingat bagaimana proses kejadiannya, tapi sayangnya kamu bilang itu adalah ciuman terburukmu yang tidak ingin kamu ingat. Betapa kita begitu canggung menjalani hari setelah ciuman itu. Berusaha untuk menganggap semua tidak pernah terjadi.
Potongan memori yang hilang berikutnya adalah proses bagaimana kita bisa tinggal bersama, satu kamar, dimulai sejak kapan, dan kenapa. Tidak banyak yang aku ingat. Hanya saja Stay bersamamu banyak mengubah hidupku, hidupmu, hidup kita. Semua mengalir begitu saja. Kata yang bisa menggambarkannya mungkin adalah ‘kenyamanan’. Kita nyaman dengan adanya ‘kita’.
Kamu yang manja dan penangis seperti baby, tapi itu hanya kamu tunjukkan kala di depanku saja. Di luar kamu dikenal sebagai perempuan mandiri, kalem, pendiam dan satu lagi, cerdas. Jujur, aku suka apa pun yang ada dalam dirimu. Aku jatuh hati pada gadis imut dan ‘manja’. Dan sayangnya aku tidak ingat bagaimana itu terjadi. Kapan pertama kali aku dan kamu mengucapkan kata ajaib ‘love you’. Kapan kita pertama kali saling menyentuh. Menelanjangi. Menyatukan hati. Bergumul dengan cairan, peluh dan desahan. Menikmati desiran-desiran cinta dan birahi. Semua nyata dan hanya saja sekarang samar.
Keterbukaan satu sama lain pelan-pelan membingkai kita. Kamu mulai berani bercerita tentang perjalanan cintamu. Perempuan mana yang pernah singgah di hatimu. Yang sempat ‘jadian’ atau yang hanya sekedar ‘lirikan’ saja. Ada juga laki-laki yang pernah mendekatimu. Seberapa dekatnya kalian, dan bagaimana akhir dari rasa itu. Katamu menerima laki-laki itu hanya untuk ‘penyamaran’. Berusaha senormal mungkin menjalani hari-hari. Menciptakan kesan ‘hetero’ bagi keluargamu dan teman-temanmu. Dan semua itu masih kamu jalani dan aku jalani saat kita bersama.
Aku. Mungkin pernah aku memperhatikan beberapa teman perempuan. Tapi tidak dalam kata ‘jadian’. Yang aku tau waktu itu perasaan itu hanya sebagai sahabat. Itu yang berusaha aku tekankan pada diriku. Dan tidak berani mengakui lebih. Tidak untuk kata ‘suka’ atau ‘jatuh cinta’. Terlalu takut mengakuinya. Pernah memperhatikan teman laki-laki. Pernah beberapa kali menjalin hubungan juga dengan laki-laki, tapi aku merasa lelah dan terlalu membosankan. Sudah bisa ditebak, hubungan itu bubar begitu saja.
Mengakuimu sebagai perempuan yang aku suka dan aku jatuh cintai dengan begitu gilanya bukanlah tanpa luka dan darah. Asa dan ragu terlalu sering menghampiriku, bergelayut dan menanamkan kemarahan,  ketidakberdayaan. Kenapa kamu harus perempuan? Kenapa kamu tidak laki-laki saja? Biar aku tidak perlu menyembunyikanmu. Saat itu kamu seperti ranting kecil di antara dedaunan. Dan kita seperti bunglon dengan mimikri-nya. Terlalu sesak untuk dipikirkan.
Kita terhadap keluarga masing-masing terbilang dekat. Karena aku dan kamu berjanji  akan menerima dan mengenal siapa orang-orang terdekat kita. Berada di antara mereka, kita berusaha memperlihatkan hubungan kakak adik. Tapi mungkin masih terlihat saling care ‘yang tidak wajar’. Kata mama, kita seperti lem dengan perangko yang tidak bisa dilepaskan. Begitu lengket. Lebih kurang aku menangkapnya seperti itu. Karena pada saat itu beliau mengucapkannya dalam bahasa daerah dan aku lupa bagaimana menyebutkannya. Taukah mama bagaimana kita? Mungkinkah kalimat itu bentuk halus dari kata ‘pacaran’ untuk kita? Memang naluri orang tua sangat peka, apalagi menyangkut anak-anaknya. Merinding aku. Berharap bukan seperti apa yang aku bayangkan.
Waktu begitu singkat. Tidak terasa studi Diplomamu memasuki finish dan melanjutkan ke jenjang S1. Sedangkan program sarjanaku juga hampir kelar. Tapi sempat tertunda karena aku memutuskan untuk kerja sambil kuliah. Niat semula untuk mencari pengalaman. Tapi ternyata terlalu sulit bagiku mengatur waktu, apalagi jarak tempat kerja dengan tempat kuliah lumayan membuat lelah. Kota A dan kota B, itu berjarak tempuh 6 jam perjalanan darat. Harus bolak balik setiap minggu merupakan bukan pilihan yang baik. Yang lebih menyebalkan adalah kita harus terpisah. Terlalu sulit  menjalani semua itu.
Aku ingat betapa kamu menderitanya kala itu. Berat badanmu tidak lebih 37 kilogram. Dirimu tidak terurus. Sangat memilukan. Dan pintarnya kamu menutupi semua penderitaan itu dariku. Tidak pernah sekalipun aku mendengar keluhan dari mulutmu. Kenapa? Karena tidak ingin membebaniku? Maafkan aku.
Aku membayarnya. Tidak lagi kulanjutkan pekerjaan itu. Menyelesaikan skripsi yang terbengkalai dan merawatmu kembali adalah tekadku. Keduanya lebih berharga untuk diperjuangkan. Keadaan kembali normal. Nyaman. Bahagia. Dan yang pasti skripsi dan kamu terkendali.
Tanggal 10/11/2012. Adalah hari yang sangat bersejarah buat kita. Itu adalah hari dimana aku wisuda sarjana. Sedangkan kamu di’wisuda’ oleh seorang laki-laki yang sangat baik. Bagaimana semua kronologisnya aku tidak ingat. Semua sudah seperti itu saja. Apakah waktu itu aku menangis haru atau kelabu aku juga tidak ingat. Tapi samar-samar tergambar saat itu aku ketakutan dan khawatir memikirkanmu di sana sendirian tanpa aku dampingi. Yah, benar sekali. Kita sempat berbalas pesan tentang penyesalan kita karena tidak bisa menghadiri acara sakral itu. Tapi begitulah, semua terasa mudah karena kata-kata yang menguatkan.
Setelah menyelesaikan urusanku di kota A, aku memutuskan hari itu juga bertolak ke kotamu. Menghadiri resepsi pernikahanmu adalah tujuanku berikutnya. Perjalanan malam ku tempuh. Pesan-pesan kekhawatiranmu terus masuk ke inbox-ku. Bagaimana tidak, perjalanan yang seharusnya hanya 4 jam, molor menjadi 6 jam karena kemacetan dan cuaca buruk.
Di sinilah pergolakan hati itu terjadi. Bersama deru mobil yang membawaku, tetesan air hujan yang membasahi jalanan dan angin malam yang menusuk tulang, airmataku jatuh. Cairan hangat itu meluluh lantakkan pertahananku. Seolah bermimpi. Tidak lagi kurasakan lelahnya hari yang kujalani. Pikiranku melayang entah kemana. Lebih tepatnya, aku tidak merasakan apa-apa lagi selain jantungku yang sakit. Rasa sakit itulah bukti semua ini nyata adanya. Aku tidak bermimpi. Aku telah kehilanganmu.
Mencoba menggali memori perjalanan panjang yang telah kita tempuh bersama. Banyak hal yang telah kita torehkan. Kita lukiskan. Senang, bahagia, tawa, airmata, keterpurukan, keraguan, putus asa, prestasi, keyakinan, harapan, kemarahan, ego, sentiment, dan sentuhan. Semuanya membentuk semacam sulaman yang rumit. Bermotif tidak biasa. Hanya kita yang mampu menjelaskan makna setiap helainya. Dan dalam sekejab semuanya akan terkubur begitu saja. Berakhir seperti ini sajakah?

(Bersambung…)










0 Response to "Potongan Memori (Part 1)"

Posting Komentar

Be nice. No spam