Mungkin banyak yang bertanya siapa kamu
sebenarnya Mut. Aku akan mencoba menceritakan sedikit tentang kita di sini. Ini
akan menolongku di masa depan. Mengingat memoriku yang semakin samar tentang
kamu. Sungguh aku tidak ingin itu terjadi.
Jujur, rasa ketertarikanku padamu bukanlah pada
awal perjumpaan kita. Begitupun rasamu padaku. Rasa itu tumbuh seiring
berjalannya waktu. Tahap demi tahap kedekatan kita, mungkin bukan unsur yang
disengaja. Tapi tidak bisa juga dibilang
sebuah kebetulan, karena dalam hidup ini tidak ada yang namanya kebetulan. Pada
hakikatnya semua sudah diatur olehNya.
Hal-hal yang kita lalui semua berawal dari
sebuah kebaikan, yang menurutku kebaikan itu sendiri akan terjadi karena adanya
keramahan. Keramahan berbalas keramahan. Perhatian berbalas perhatian. Rentetan-rentetan yang sebenarnya tidak kita
pahami kemana arahnya. Sejak saat itu ada semacam perasaan asing yang mulai
tumbuh dalam hatiku. Awalnya aku berfikir itu hanya semacam kasih sayang
seorang kakak kepada adiknya, karena memang usia kita terpaut cukup jauh, 4
tahun. Dan secara aku adalah anak bungsu, tapi sempat aku tanyakan padamu,
bagaimana rasanya memiliki seorang adik, kamu menjawab “sangat menyebalkan,
bikin sakit kepala dan bikin jengkel..”.Hehe.. Jawaban yang mengundang tawa.
Waktu terus berlanjut. Oya, kamu memang orang
yang beruntung. Ciuman pertamaku kamulah yang merenggutnya. Ah, itu terjadi begitu
saja. Tidak begitu ingat bagaimana proses kejadiannya, tapi sayangnya kamu
bilang itu adalah ciuman terburukmu yang tidak ingin kamu ingat. Betapa kita
begitu canggung menjalani hari setelah ciuman itu. Berusaha untuk menganggap
semua tidak pernah terjadi.
Potongan memori yang hilang berikutnya adalah proses
bagaimana kita bisa tinggal bersama, satu kamar, dimulai sejak kapan, dan
kenapa. Tidak banyak yang aku ingat. Hanya saja Stay bersamamu banyak
mengubah hidupku, hidupmu, hidup kita. Semua mengalir begitu saja. Kata yang
bisa menggambarkannya mungkin adalah ‘kenyamanan’. Kita nyaman dengan adanya
‘kita’.
Kamu yang manja dan penangis seperti baby, tapi
itu hanya kamu tunjukkan kala di depanku saja. Di luar kamu dikenal sebagai
perempuan mandiri, kalem, pendiam dan satu lagi, cerdas. Jujur, aku suka apa
pun yang ada dalam dirimu. Aku jatuh hati pada gadis imut dan ‘manja’. Dan
sayangnya aku tidak ingat bagaimana itu terjadi. Kapan pertama kali aku dan
kamu mengucapkan kata ajaib ‘love you’. Kapan kita pertama kali saling
menyentuh. Menelanjangi. Menyatukan hati. Bergumul dengan cairan, peluh dan
desahan. Menikmati desiran-desiran cinta dan birahi. Semua nyata dan hanya saja
sekarang samar.
Keterbukaan satu sama lain pelan-pelan
membingkai kita. Kamu mulai berani bercerita tentang perjalanan cintamu.
Perempuan mana yang pernah singgah di hatimu. Yang sempat ‘jadian’ atau yang
hanya sekedar ‘lirikan’ saja. Ada juga laki-laki yang pernah mendekatimu.
Seberapa dekatnya kalian, dan bagaimana akhir dari rasa itu. Katamu menerima
laki-laki itu hanya untuk ‘penyamaran’. Berusaha senormal mungkin menjalani
hari-hari. Menciptakan kesan ‘hetero’ bagi keluargamu dan teman-temanmu. Dan
semua itu masih kamu jalani dan aku jalani saat kita bersama.
Aku. Mungkin pernah aku memperhatikan beberapa
teman perempuan. Tapi tidak dalam kata ‘jadian’. Yang aku tau waktu itu
perasaan itu hanya sebagai sahabat. Itu yang berusaha aku tekankan pada diriku.
Dan tidak berani mengakui lebih. Tidak untuk kata ‘suka’ atau ‘jatuh cinta’. Terlalu
takut mengakuinya. Pernah memperhatikan teman laki-laki. Pernah beberapa kali
menjalin hubungan juga dengan laki-laki, tapi aku merasa lelah dan terlalu
membosankan. Sudah bisa ditebak, hubungan itu bubar begitu saja.
Mengakuimu sebagai perempuan yang aku suka dan
aku jatuh cintai dengan begitu gilanya bukanlah tanpa luka dan darah. Asa dan
ragu terlalu sering menghampiriku, bergelayut dan menanamkan kemarahan, ketidakberdayaan. Kenapa kamu harus
perempuan? Kenapa kamu tidak laki-laki saja? Biar aku tidak perlu
menyembunyikanmu. Saat itu kamu seperti ranting kecil di antara dedaunan. Dan
kita seperti bunglon dengan mimikri-nya. Terlalu sesak untuk dipikirkan.
Kita terhadap keluarga masing-masing terbilang
dekat. Karena aku dan kamu berjanji akan
menerima dan mengenal siapa orang-orang terdekat kita. Berada di antara mereka,
kita berusaha memperlihatkan hubungan kakak adik. Tapi mungkin masih terlihat saling
care ‘yang tidak wajar’. Kata mama, kita seperti lem dengan perangko
yang tidak bisa dilepaskan. Begitu lengket. Lebih kurang aku menangkapnya
seperti itu. Karena pada saat itu beliau mengucapkannya dalam bahasa daerah dan
aku lupa bagaimana menyebutkannya. Taukah mama bagaimana kita? Mungkinkah kalimat
itu bentuk halus dari kata ‘pacaran’ untuk kita? Memang naluri orang tua sangat
peka, apalagi menyangkut anak-anaknya. Merinding aku. Berharap bukan seperti apa
yang aku bayangkan.
Waktu begitu singkat. Tidak terasa studi
Diplomamu memasuki finish dan melanjutkan ke jenjang S1. Sedangkan program
sarjanaku juga hampir kelar. Tapi sempat tertunda karena aku memutuskan untuk
kerja sambil kuliah. Niat semula untuk mencari pengalaman. Tapi ternyata
terlalu sulit bagiku mengatur waktu, apalagi jarak tempat kerja dengan tempat
kuliah lumayan membuat lelah. Kota A dan kota B, itu berjarak tempuh 6 jam
perjalanan darat. Harus bolak balik setiap minggu merupakan bukan pilihan yang
baik. Yang lebih menyebalkan adalah kita harus terpisah. Terlalu sulit menjalani semua itu.
Aku ingat betapa kamu menderitanya kala itu.
Berat badanmu tidak lebih 37 kilogram. Dirimu tidak terurus. Sangat memilukan.
Dan pintarnya kamu menutupi semua penderitaan itu dariku. Tidak pernah
sekalipun aku mendengar keluhan dari mulutmu. Kenapa? Karena tidak ingin
membebaniku? Maafkan aku.
Aku membayarnya. Tidak lagi kulanjutkan
pekerjaan itu. Menyelesaikan skripsi yang terbengkalai dan merawatmu kembali
adalah tekadku. Keduanya lebih berharga untuk diperjuangkan. Keadaan kembali
normal. Nyaman. Bahagia. Dan yang pasti skripsi dan kamu terkendali.
Tanggal 10/11/2012. Adalah hari yang sangat
bersejarah buat kita. Itu adalah hari dimana aku wisuda sarjana. Sedangkan kamu
di’wisuda’ oleh seorang laki-laki yang sangat baik. Bagaimana semua
kronologisnya aku tidak ingat. Semua sudah seperti itu saja. Apakah waktu itu
aku menangis haru atau kelabu aku juga tidak ingat. Tapi samar-samar tergambar
saat itu aku ketakutan dan khawatir memikirkanmu di sana sendirian tanpa aku
dampingi. Yah, benar sekali. Kita sempat berbalas pesan tentang penyesalan kita
karena tidak bisa menghadiri acara sakral itu. Tapi begitulah, semua terasa
mudah karena kata-kata yang menguatkan.
Setelah menyelesaikan urusanku di kota A, aku
memutuskan hari itu juga bertolak ke kotamu. Menghadiri resepsi pernikahanmu
adalah tujuanku berikutnya. Perjalanan malam ku tempuh. Pesan-pesan
kekhawatiranmu terus masuk ke inbox-ku. Bagaimana tidak, perjalanan yang
seharusnya hanya 4 jam, molor menjadi 6 jam karena kemacetan dan cuaca buruk.
Di sinilah pergolakan hati itu terjadi. Bersama
deru mobil yang membawaku, tetesan air hujan yang membasahi jalanan dan angin
malam yang menusuk tulang, airmataku jatuh. Cairan hangat itu meluluh lantakkan
pertahananku. Seolah bermimpi. Tidak lagi kurasakan lelahnya hari yang
kujalani. Pikiranku melayang entah kemana. Lebih tepatnya, aku tidak merasakan
apa-apa lagi selain jantungku yang sakit. Rasa sakit itulah bukti semua ini
nyata adanya. Aku tidak bermimpi. Aku telah kehilanganmu.
Mencoba menggali memori perjalanan panjang yang
telah kita tempuh bersama. Banyak hal yang telah kita torehkan. Kita lukiskan. Senang,
bahagia, tawa, airmata, keterpurukan, keraguan, putus asa, prestasi, keyakinan,
harapan, kemarahan, ego, sentiment, dan sentuhan. Semuanya membentuk semacam
sulaman yang rumit. Bermotif tidak biasa. Hanya kita yang mampu menjelaskan
makna setiap helainya. Dan dalam sekejab semuanya akan terkubur begitu saja. Berakhir
seperti ini sajakah?
(Bersambung…)
0 Response to "Potongan Memori (Part 1)"
Posting Komentar
Be nice. No spam