Aku tidak cukup dewasa.
Atau belum dewasa?
Benar kata orang, usia tidak bisa jadi indikator kedewasaan seseorang.
Saat ini sebenarnya sedang malas untuk menulis.
Lagian tidak tahu mau menulis apa.
Otak terasa buntu.
Hampir kepala tiga (??) usiaku.
Belum ada pencapaian yang berarti dalam hidup.
Bukannya tidak mensyukuri, tapi ya itulah yang aku rasakan.
Soal cinta dan hati, juga sama saja nasibnya.
Bisa dibilang ini adalah masa kritis.
Antara hidup dan mati.
Koma.
Kalau menurut diagnosa "dokter" aku kena kanker stadium akhir.
Hah, ada-ada saja.
Bisa jadi seperti itu.
Jika ingin sembuh, aku harus mati dulu.
Hidup lagi.
Dalam reinkarnasi.
Dengan Rin yang baru
Dengan Rin yang baru.
Tapi ya itulah
Aku seperti
Hidup segan, mati tak mau
Aku,
aku belum dewasa, barangkali
Hah, malasnya menulis ini
Mari kita bicara
Berdua saja
Dari hati ke hati tentunya
Kamu masih mendengarku?
Iya. Aku ingin berkeluh kesah sedikit
Masih inginkah kamu mendengarku?
Tidak akan panjang lebar
Kita buat sesingkat mungkin saja
Masih samakah rasa kita?
Mungkin tidak.
Yakinlah,
iya, tidak sama lagi
Kamu lelah?
iya, dan juga, tidak
Lantas?
Ramuannya kita racik baru lagi
Bukan seperti yang dulu
Kamu bosan?
Tidak. Hanya saja,
ramuan kita jarang tersentuh
Tidak tau lagi rasanya seperti apa
Maksudnya, hambar?
Bukan. Aku tak bisa meracik lagi
Bejananya tak lagi utuh
Tak akan hilang
Hanya berubah rasa
Rasa yang lebih tawar
Pelepas dahaga
Bukan lagi memabukkan
Bukan lagi vanilla dan cherry
Kamu bisa?
Iya. Tidak akan hilang
Tidak akan hilang
Hanya berubah rasa
Meramu lagi
Rasa yang lebih tawar
Bisa dinikmati kapan saja
Benar.
Tak ada cadar
Tak ada tirai
Hanya cara baru
Iya.
Cara lama tak bisa lagi
Ramuan kita kali ini,
untuk semua penikmat
Aku merindukan para penikmat itu
Terasa menjauh mereka
Iya. Dari gubuk kita tentunya
Undang mereka lagi
Kita saja terasa sunyi
Kita nikmati racikan baru
Iya. Bersama mereka.
Mereka terlalu berharga
Kita saja terlalu sunyi
Siapkan undangan, ya?
Kita sambut tamu kehormatan kita
Gubuk ini kita jadikan lagi istana
Iya. Tentu saja karena mereka
Aku merindu mereka
Kita saja,
terlalu sunyi
“Tidak akan ada air mata. Tidak akan ada rasa sakit hati. Tidak akan ada rasa dikhianati. Tidak akan ada rasa dicampakkan. Tidak akan ada rasa luka. Tidak ada di hatiku rasa-rasa seperti itu. Tidak akan kuizinkan rasa-rasa itu mengubahku menjadi monster buruk laku. Aku mengikhlaskanmu. Selamat menempuh hidup baru, Mut”
Ajaib. Kata-kata itu mengubahnya menjadi senyuman yang paling mendamaikan hatiku. Barulah kulangkahkan kaki ini untuk mengetuk daun pintu coklat rumahmu. Lewat tengah malam tentunya. Maaf mengganggu tidurmu. Hmm malam pertama kamu dan dia. Biar saja..
Apa ini? Kamu menarik tanganku ke kamar pengantin? Hal gila apa lagi ini? Suamimu mana? Kalau ada yang melihat bagaimana? Matilah aku.. Kamu menutup pintu dan menguncinya. Aku hanya diam terpaku. Mendapati kamar yang indah, nuansa pink. Kasur empuk dengan bed cover pink. Meja hias di sudut kamar sebelah kiri dan rangkaian kembang mempercantiknya. Dekorasi simple nan cantik.
Aku tersadar. Mataku menelusuri sudut kamar. Mencari sosok satu orang lagi. Suamimu. Melihat tampangku yang seperti orang ketakutan, kamu akhirnya paham. Dan mulai menjelaskan tradisi adat sekitar yang belum mengizinkan seorang laki-laki tinggal di rumah pengantin sebelum digelar resepsi. Jadi malam ini dia tidak ada. Ah, leganya. Senyum sumringah kami begitu lepas.
Berada di kamar pengantin berdua dengan orang yang kamu cintai, menimbulkan imaginasi yang nakal. Pastinya.
Jangan membayangkan yang aneh-aneh. Malam itu kami tidak melakukan apa-apa selain tidur di lantai beralaskan karpet, berselimutkan kain tipis, satu berdua. Tidur berpelukan dan merasakan hangatnya nafas masing-masing, melawan dinginnya udara. Kami terdiam, tidak saling berbicara. Pikiran kami melayang entah kemana. Meresapi setiap detik dan menit yang terjadi sebelum kamar pengantin ini ada. Sebelum akad nikah itu terucap. Sebelum tanggal 10 bulan 11 tahun 2012.
Hari itu resepsi pernikahanmu berjalan dengan lancar, meriah dan khidmat. Kulihat ada aura kebahagiaan di wajah setiap orang, khususnya mama dan papa. Senangnya bisa mengenal keluargamu. Aku tidak lagi dianggap orang asing atau sekedar tamu. Tapi sebagai keluarga, bagian dari anggota keluarga. Buktinya adalah seragam yang aku pakai hari itu, tidak ada bedanya dengan seragam keluarga inti. Terharu.
Ditengah acara, aku selalu mencuri pandang ke arahmu yang duduk di pelaminan sana. “kamu akan baik-baik saja, Mut. Mulai sekarang bukan aku lagi yang akan menjagamu, tapi dia, laki-laki yang duduk di sampingmu”. Apa ini? Sepertinya fotografer itu menyadarinya. Beraninya dia mengambil gambarku kala menatapmu. Aish..merahnya muka ini.
Aku mau pamit. Keesokan harinya setelah acara selesai.
Tapi ada yang mengganggu pikiranku. Curhatmu semalam membuatku sesak nafas. Kala kita berbincang tentang kita di masa depan. Seuntai nasehat dan harapanku padamu dalam menjalani kehidupan berumahtangga. Semua kamu tanggapi dengan luka dan airmata.
“Hanya dengan cara ini supaya mereka tidak curiga kak. Adek tidak pernah mencintainya. Bisa menerima pernikahan ini hanya karena rasa kagum saja. Dia memang baik. Tapi rasa itu bukan rasa yang adek rasakan terhadap kakak. Sosok kakak tidak akan pernah tergantikan, oleh siapapun, sampai kapanpun. Tidak akan sanggup adek hidup tanpa kakak. Setelah semua ini, apa kakak akan meninggalkan adek?”.
Seperti tersengat lebah, aku tidak mampu berucap apapun. Bukan kata-kata seperti itu yang aku bayangkan. Dan tentu bukan yang aku harapkan untuk aku dengar saat itu. Permintaan maaflah yang seharusnya kamu ucapkan padaku. Bentuk penyesalanmu karena memilih menikahinya. Meninggalkanku setelah semua yang terjadi antara kita. Harusnya kamu seperti itu. Harusnya pernyataanmu menjawab pergolakan hatiku kala di perjalanan malam itu. Harusnya... Harusnya tangisanku tidak sia-sia.
Terdiam beberapa lama. Kami kembali sibuk dengan pikiran masing-masing.
" Kenapa tidak katakan itu sebelumnya? kenapa sekarang?" Aku menatapnya lagi.
"Sebelumnya dah pernah dek bilang kan sama kakak. Sikap kakak seolah mendukung. Kakak ga pernah menahan dek, atau setidaknya berusaha mempertahankan dek. Adek ga ngerti jalan pikiran kak. Kakak selalu terlihat plinplan. Kadang sikap kakak seolah menginginkan dek, tapi terkadang tidak seperti itu. Kakak tidak pernah meminta dek untuk tinggal di sisi kak."
Setiap kalimat yang diucapkannya seperti mencabik-cabikku. Aku merasa bodoh. Dan tidak berdaya. Orang bodoh memang selalu tidak berdaya.
"Apa dengan menikahinya adalah sebuah pilihan yang melegakanmu?" Aku berusaha menahan air mata. Tidak ingin menangis di depannya.
"Paling tidak untuk saat ini, itu adalah pilihan yang tepat kak. Pa n ma alasan selanjutnya. Tidak ingin membuat mereka kecewa." Kamu menangis. "Tapi adek butuh kakak untuk mendampingi adek. Ga kan sanggup adek berjalan sendiri." Aku mengusap air matanya. Kami saling menguatkan dengan membagi kehangatan lewat pelukan.
Goyah. Itulah yang terjadi padaku. Setelah semua yang aku lakukan untuk menata hatiku kala perjalanan malam itu, sekarang runtuh seketika. Ternyata aku tidak cukup kuat.
Jeritan hatiku malam itu.
“Kenapa? Skenario apalagi yang Engkau rencanakan, Tuhan? Bagian mana yang aku lewatkan sehingga drama ini belum juga usai? Harusnya aku tidak bertanya lagi padaMu. Aku tau bagian mana yang aku lewatkan. Tidak mengakui diri sepenuhnya, benarkan, Tuhan? Hah..Lantas apa artinya jika aku mengakui dengan sesadar-sadarnya diri, Engkau merestui?
Dalam perjalanan pulang, kembali airmataku meleleh lagi. Aku ingat setelah pembicaraan panjang kami malam itu, kami memutuskan untuk saling menghubungi dan mengetahui kabar satu sama lain. Aku berjanji padanya untuk tetap mendampinginya dengan caraku. Tetap menjadi kakak baginya. Tetap memelihara cinta ini untuknya, seperti yang ia lakukan.
Recent Comments