Memaksa Untuk Sama

Dia tetap menjalani hari-harinya seperti biasa. Ia masih mencicipi embun pagi. Menyambut mentari. Melewati siang. Mengagumi senja. Merindu bulan. Tidak satupun yang ia lewatkan. Ia tetap tersenyum. Tetap tertawa. 

Tapi ada yang berbeda. Ia merasa seperti ada yang lain dan asing. Beruntun pertanyaan menghampirinya, tapi tidak satupun mampu ia jawab. Dan ia tidak tahu harus mencari jawaban pada siapa dan dimana. Atau mungkin kepercayaan dirinya hilang, tidak bisa mempercayai dan takut tidak dipercaya. Ia gundah. Gelisah.

Pagi baginya hanya sekedar pagi. Udara pagi yang ia hirup tidak lagi menyegarkan paru. Ia sesak. Ingin menolak oksigen yang terlanjur membanjiri saluran pernapasannya, tapi itu tidak mungkin. Ia tidak ingin mati. Ia bahkan terlalu malu pada dirinya sendiri. Terlalu angkuh mengakui, tapi juga tidak ingin terlihat rapuh. Maka ia relakan juga oksigen itu melakukan tugasnya. Membanjiri dan kemudian memuntahkan lagi dengan wujud karbon.

Siang tak menentu baginya. Terik matahari menjadi terlalu terik untuk tubuhnya yang mungil. Mendungnya langit menakutkan untuk disaksikannya. Begitu lama kelamnya langit bertahta di atas kepalanya. Hujan yang turun pun sekarang disertai gelegar petir yang memekakkan telinga. Dan langit tidak segera cerah, mendung masih menyelimutinya. Hujan hanya bermain-main. Ingin berlama-lama bermesraan dengan awan.

Ia takut menunggui senja. Maka ia akan biarkan senja lewat begitu saja. Ia hanya duduk di deretan bangku stasiun dan membiarkan pikirannya ditelanjangi kaki-kaki yang berlalu lalang. Ingin memperlihatkan makna setiap tatapannya, namun yang tampak hanya kekosongan. Ia baru beranjak saat senja lelah menunggu dan memilih berlalu.

Malam adalah waktu baginya menanti kehadiran bulan dan menggilai aroma angin malam. Tapi ternyata bulan tak mau lagi bersahabat dengannya. Angin malam menjadi musuh baginya. Sekarang dengan mudah tubuh itu mengatakan tidak. Angin malam melemahkannya. Sedangkan bulan tak kunjung menampakkan senyum. Lelah dan ringkuk dipaksanya tubuh itu menikmati apa yang ada. Biarlah bulan tak lagi sama. Biarlah angin malam tak lagi ramah. Biarlah. Ia hanya akan menerima saja. Dan tetap setia menunggu pagi.

Ia pun tersenyum.

Mereka,

Pernah terpikir bagaimana jika suatu saat nanti kita kehilangan orang tua kita, ayah dan ibu? Pernah membayangkan bagaimana hidup ini tanpa kehadiran mereka? Mungkin sebagian dari kita sudah mengalami kehilangan itu. Entah itu kehilangan ibu, atau kehilangan seorang ayah. Entah itu karena kematian, perceraian atau karena sebab lainnya yang membuat salah satu atau keduanya menghilang dari kehidupan kita. Dan orang-orang ini sangat mengerti sekali apa itu makna kehilangan. 

Bagi yang masih mempunyai orang tua yang utuh, ada ayah dan ibu, untuk berfikir ke sana adalah hal yang menakutkan mungkin. Bagaimana tidak, hidup bersama orang yang tulus menyayangi dan mencintai kita tapi tiba-tiba harus kehilangan mereka. Itu tidak dapat dibanyangkan sama sekali. Siapa lagi yang akan menjaga kita, melindungi, mendidik kita, mengomeli kenakalan-kenakalan kita, merangkul kita saat kita terpuruk, menasehati kita dengan penuh kasih sayang. Sungguh adalah sesuatu yang tidak terbayangkan, dan tidak ingin dibayangkan. 

Orang tua. Bagaimana pun keadaan mereka, mereka adalah orang tua kita. Mereka tidak "gaul", mereka "gaptek", mereka cerewet, mereka tidak fashionable, mereka tidak berpendidikan tinggi, mereka tidak kaya, mereka suka marah-marah, mereka bahkan main tangan, mereka cuek, mereka lebih milih kerjaan dibanding mengajak kita ngobrol, mereka over protectiv, mereka tetaplah mereka. Orang tua kita. 

Pasti pernah sebagian dari kita menyesali hidup. Kenapa harus hidup dalam kesusahan? kenapa kita tidak dilahirkan dari otang tua yang kaya, berkecukupan, tidak malu-maluin? Ah, teman. Hidup tidak akan berpihak pada orang seperti kita yang suka mengeluh dan jauh dari bersyukur. Hidup bahagia hanya bagi orang-orang yang mau mensyukuri apa yang ada padanya. Dan orang yang dengan keikhlasannya mau untuk menerima keadaanya. Hidup bahagia hanya bagi orang yang mau mengambil pelajaran dalam setiap kejadiam yang menimpanya. Dan mau merubah segala ketidakberdayaan menjadi kebanggaan. Hidup bahagia hanya bagi mereka yang mencintai orang tuanya melebihi cinta pada dirinya sendiri. Bagaimana dengan kita? Kita yang seperti ini? Kita yang selalu "menjauhi" mereka, orang tua kita.

Pernah bertanya pada orang-orang yang "tidak lagi" memilki mereka/ayah/ibu? Pernah menyempatkan diri untuk mengambil makna dari kisah hidup orang-orang seperti itu? Tidak penting mereka orang jahat atau orang baik. Yang penting bagi kita kisah hidupnya, makna hidup baginya. Selanjutnya biar kita yang mensortir mana yang perlu kita ambil, mana yang perlu kita buang. Toh, kita sudah dewasa, bukan anak kecil lagi.

Untukku. Orang tua/ayah/ibu adalah orang yang selalu aku rindukan. Wajah yang selalu aku bayangkan kala sujud dan doa.. Wajah yang terlalu samar. Wajah yang hampir tidak dapat aku lukiskan. Sosok ayah bagiku adalah seorang bapak yang berjuang membanting tulang, siang hingga malam, hanya untuk memenuhi keinginan anak-anaknya, menopang masa depan mereka hingga mengecap pendidikan yang layak. Tidak pernah kudengar rintihan kesakitannya kala dunia berlaku kejam padanya. Laki-laki yang dengan"nya" aku ada di dunia ini. Apakah dia mengerti apa itu kata "bermanja"? pernahkah aku mendapatkannya dari sosok ini? Tidak. Kami tidak paham. Kami tidak membutuhkannya.

Lantas, bagaimana dengan perhatian? Perhatian yang seperti apa dulu. Perhatian yang sering kamu alami, misalnya sekedar bertanya "bagaimana sekolahmu? sudah mengerjakan tugas rumah? kamu perlu membeli buku nak? apa teman-temanmu menjahilimu? bla bla bla..." Tidak ada yang seperti ini. Perhatiannya bagiku, adalah kala ia marah dengan diamnya. Berkata tanpa mengeraskan suaranya dengan pituah-pituah yang tidak aku mengerti. Hanya padaku. Aku tidak pernah kena tangan seperti saudara-saudaraku yang lain. Kata orang-orang aku penangis jadi susah untuk dimarahi. 

Kedekatan dengan seorang ayah bagiku hanya sebatas minta uang untuk biaya sekolah. Selebihnya tidak. Aku terlalu menutup diri. Oh bukan, aku mewarisi sifat ayahku, bapakku. Bukan berarti aku tidak menyayanginya. Bukan berarti dia tidak menyayangiku. Cintanya sangat besar untukku. Begitupun aku sangat mencintainya. Hanya saja kami tidak mampu mengungkapkannya dengan gamblang. Bukan seperti itu kami berbicara.

Ibu. Aku tidak bisa mendeskripsikan sosok yang sudah melahirkanku ini. Aku telah lama kehilangannya. Sang pencipta tidak mengizinkanku untuk mengenal sosok ini. Biasanya kala malam hari air mataku akan jatuh tanpa kukehendaki jika merindukannya. Tapi tidak selalu. Hanya jika aku mengalami masa-masa sulit yang menguras hati dan perasaan. Tidak terlalu menye-menye. Setelah puas, biasanya aku terlelap :)  


Wajah Baru

Terimakasih, kamu sudah hadir dalam kehidupanku.

Adalah kenangan indah bisa mengenal, mencintai dan menyayangimu. Mencintaimu tanpa alasan. Bukan hanya sekedar bualan. Mempertahankanmu untuk selalu di hatiku sudah kulakukan. Dan itu memberi warna dalam hidupku yang mungkin biasa-biasa saja. Kamulah pelangi. Kamulah mentari.  Kamulah sang bulan. Kamulah hujan yang menggetarkan hatiku. Kamulah senja yang selalu kurindu.  Kamulah langit yang selalu kupandang. Kamulah embun di pagi hari. Kamulah laut dan ombakku. Kamulah “rumput hijau” bukan semak belukar di tepi jalan. Kamulah hutan yang rindang dan mempunyai tarikan magnet yang kuat. Kamulah malam yang menjadi saksi kegelisahanku. Aku mencintai dan menyayangimu dengan rasa bangga.

Terimakasih, kamu sudah mengerti.

Banyak hal yang sudah aku lalui hingga keputusan itu kuambil. Banyak pertimbangan dan pemikiran yang mengiringinya. Kekalutan menggelayutiku memikirkan aku akan kehilanganmu. Ketakutanku begitu besar memikirkan kamu akan terluka dan tidak siap. Rasa bersalah dan tidak berdaya. Semua itu begitu menghimpitku sehingga aku sulit untuk bernafas. Tidak berani kusampaikan rasa seperti itu. Mungkin coretan-coretan aksara di awahita ini mampu mewakilinya. Terimakasih, kamu sudah membacanya.

Terimakasih, untuk tidak mementingkanku diatasNya.

Keikhlasan memperkecil rasa sesak itu. Keyakinanku bahwa ini adalah jalan terbaik. Untukmu, untukku dan untuk kita. Katamu “perjuangan itu sangat pahit, karena balasannya akan sangat manis”. Aku setuju. Balasan yang paling indah adalah kebahagiaanmu dan kita. Tidak ada yang sia-sia di dunia ini, jika ridhaNya yang kita harapkan.  Terimakasih, kamu telah mengikhlaskanku karena cintamu padaNya.

Terimakasih, untuk tetap menerimaku

Inilah wujud baru kita. Ruang tanpa sekat dan wajah tanpa cadar. Senang bisa merangkulmu dalam kehangatan sebagai saudara dan sahabat. Sebenarnya status seperti ini sudah pernah kita lalui, dahulu sebelum benih-benih cinta tumbuh. Kita hanya kembali seperti semula. Bukan merubah  haluan karena masih berkeinginan untuk tetap bersama. Bukan. Kondisi yang berbeda, tentu kita juga harus menyikapinya dengan cara yang berbeda. Jika tidak ingin tersakiti dan merasa tercurangi oleh keadaan. Kita tidak ingin merasa  semua ini adalah suatu ke-tidak-adil-an. Semua sudah ada garis dan ketetapanNya.

Aku sudah memilih. Kamu juga sudah memilih. Inilah pilihan kita.   




Hutan Belukar


Tidak ada yang tau seperti apa persisnya jalan yang akan ditempuh. Namun, jalan itu bukannya tidak ada. Hanya saja masih di tumbuhi semak belukar. Atau bahkan hutan rimba. Atau kamu suka dengan pengandaian seperti air laut? Hujan? Senja, barangkali?

Walau aku suka laut, hujan dan senja tapi semak belukar dan hutan rimba juga tidak kalah menariknya. Keduanya penuh misteri. Ganas dan juga menyesatkan. Semak belukar. Siapa yang tidak kenal rupa tanaman ini. Tidak tampak ada keelokan padanya. Tanaman perdu yang dapat tumbuh hampir di segala jenis tanah, ia lah si semak belukar. Bagaimana jika jalan yang akan kamu tempuh, harus melewati  semak belukar? Ia bukan lagi belukar yang dapat kamu cabut begitu saja. Ia dan semak-semak lainnya dalam satu simbiosis. Belukar yang bisa membelit langkahmu. Jika sedang sialnya, kamu juga tak jarang akan dikagetkan dengan desisan ular tanah. Itu hanya berlaku untuk belukar di tepi jalan. Belukar tak terawat, belukar tak tertata. Belukar yang dipenuhi ular berbisa. 

Pernah menginjakkan kaki di lapangan sepakbola atau lapangan golf? Bagaimana menurutmu tentang semak belukarnya? Ah, aku lupa. Kamu menyebutnya bukan semak belukar lagi, tapi "rumput hijau". Lupa terkadang. Itulah beda belukar dalam "sangkar" dengan belukar di tepi jalan. Kakimu akan sangat nyaman menapak di atasnya. Bahkan mungkin kamu akan melepaskan alas kakimu untuk merasakan kelembutan dan kemegahan "rumput hijau" itu. Kamu merasa tidak akan tersesat di dalamnya. Tidak akan ada jebakan, pikirmu. Tidak akan ada ular-ular menakutkan. Kamu akan nyaman berjalan. Sungguh aku pertegas, itu hanya pikiranmu.

Bagaimana dengan hutan rimba? Hampir sama dengan belukar. Tapi tempat ini adalah sarang misteri, sekaligus tempat yang paling disukai oleh pemburu. Tentu saja karena misterinya.

Pohon. Suara pohon. Mereka terlihat diam, tapi sesungguhnya pohon-pohon itulah yang paling riuh. Kala angin bertiup, dia berbisik. Kala burung bertengger, dia berkicau. Kala monyet berayun, dia memekik. Hebat sekali penyampaiannya padamu. Jika kamu tersesat, bertanyalah pada pohon kemana arah jalan keluar. Tapi kamu akan keluar kemana? 

Hutan tidak sedangkal semak belukar. Ia lebih bermagnet menyeret dirimu. Jauh ke dalam hutan. Boleh jadi kamu beranggapan kamu tersesat, atau memang itu tujuanmu mengikuti tarikannya. Hanya kamu yang tahu jawabannya. 

Seperti apa dewasa???

Aku tidak cukup dewasa.
Atau belum dewasa?

Benar kata orang, usia tidak bisa jadi indikator kedewasaan seseorang.

Saat ini sebenarnya sedang malas untuk menulis.
Lagian tidak tahu mau menulis apa.
Otak terasa buntu.

Hampir kepala tiga (??) usiaku.
Belum ada pencapaian yang berarti dalam hidup.
Bukannya tidak mensyukuri, tapi ya itulah yang aku rasakan.

Soal cinta dan hati, juga sama saja nasibnya.
Bisa dibilang ini adalah masa kritis.
Antara hidup dan mati.
Koma.

Kalau menurut diagnosa "dokter" aku kena kanker stadium akhir.
Hah, ada-ada saja.

Bisa jadi seperti itu.
Jika ingin sembuh, aku harus mati dulu.

Hidup lagi.
Dalam reinkarnasi. 

Dengan Rin yang baru

Dengan Rin yang baru.

Tapi ya itulah
Aku seperti 
Hidup segan, mati tak mau

Aku,
aku belum dewasa, barangkali

Hah, malasnya menulis ini

Racikan Baru

Mari kita bicara
Berdua saja
Dari hati ke hati tentunya

Kamu masih mendengarku?
Iya. Aku ingin berkeluh kesah sedikit
Masih inginkah kamu mendengarku?

Tidak akan panjang lebar
Kita buat sesingkat mungkin saja

Masih samakah rasa kita?
Mungkin tidak.
Yakinlah,
iya, tidak sama lagi

Kamu lelah?
iya, dan juga, tidak

Lantas?
Ramuannya kita racik baru lagi
Bukan seperti yang dulu

Kamu bosan?
Tidak. Hanya saja,
ramuan kita jarang tersentuh
Tidak tau lagi rasanya seperti apa

Maksudnya, hambar?
Bukan. Aku tak bisa meracik lagi
Bejananya tak lagi utuh

Tak akan hilang
Hanya berubah rasa


Rasa yang lebih tawar
Pelepas dahaga

Bukan lagi memabukkan
Bukan lagi vanilla dan cherry

Kamu bisa?
Iya. Tidak akan hilang
Tidak akan hilang
 
Hanya berubah rasa
Meramu lagi

Rasa yang lebih tawar
Bisa dinikmati kapan saja

Benar.
Tak ada cadar
Tak ada tirai

Hanya cara baru
Iya.
Cara lama tak bisa lagi

Ramuan kita kali ini,
untuk semua penikmat

Aku merindukan para penikmat itu
Terasa menjauh mereka
Iya. Dari gubuk kita tentunya

Undang mereka lagi
Kita saja terasa sunyi

Kita nikmati racikan baru
Iya. Bersama mereka.

Mereka terlalu berharga

Kita saja terlalu sunyi

Siapkan undangan, ya?
Kita sambut tamu kehormatan kita

Gubuk ini kita jadikan lagi istana
Iya. Tentu saja karena mereka

Aku merindu mereka

Kita saja,
terlalu sunyi

 
 
 


Potongan Memori (Part 2)

Laju mobil yang membawaku berangsur pelan. Memasuki gang. Berhenti di depan rumah cantik dan bercat pink dan pagar tembok coklat. Rumpun pohon palm di sudut pekarangan itu adalah objek yang menarik untuk aku pandangi setiap kali datang berkunjung. Atau mungkin sudah menjadi petunjuk khusus agar aku tidak salah mengenali rumahmu.

Kupijakkan kakiku yang sedikit goyah. Menatap tenda yang berdiri dengan  anggunnya di pekarangan rumah. Aku tersenyum. Tidak kupahami jenis senyum apa yang tergambar saat itu. Kututup mata ini. Dengan tarikan nafas pelan udara malam yang dingin memasuki rongga paruku. Dinginnya menyakitkan, tapi kemudian yang terasa adalah kesejukan.

Tidak akan ada air mata. Tidak akan ada rasa sakit hati. Tidak akan ada rasa dikhianati. Tidak akan ada rasa dicampakkan. Tidak akan ada rasa luka. Tidak ada di hatiku rasa-rasa seperti itu. Tidak akan kuizinkan rasa-rasa itu mengubahku menjadi monster buruk laku. Aku mengikhlaskanmu. Selamat menempuh hidup baru, Mut”

Ajaib. Kata-kata itu mengubahnya menjadi senyuman yang paling mendamaikan hatiku. Barulah kulangkahkan kaki ini untuk mengetuk daun pintu coklat rumahmu. Lewat tengah malam tentunya. Maaf mengganggu tidurmu. Hmm malam pertama kamu dan dia. Biar saja.. 

Apa ini? Kamu menarik tanganku ke kamar pengantin? Hal gila apa lagi ini? Suamimu mana? Kalau ada yang melihat bagaimana? Matilah aku.. Kamu menutup pintu dan menguncinya. Aku hanya diam terpaku. Mendapati kamar yang indah, nuansa pink. Kasur empuk dengan bed cover pink.  Meja hias di sudut kamar sebelah kiri dan rangkaian kembang mempercantiknya. Dekorasi simple nan cantik.

Aku tersadar. Mataku menelusuri sudut kamar. Mencari sosok satu orang lagi. Suamimu. Melihat tampangku yang seperti orang ketakutan, kamu akhirnya paham. Dan mulai menjelaskan tradisi adat sekitar yang belum mengizinkan seorang laki-laki tinggal di rumah pengantin sebelum digelar resepsi. Jadi malam ini dia tidak ada. Ah, leganya. Senyum sumringah kami begitu lepas.

Berada di kamar pengantin berdua dengan orang yang kamu cintai, menimbulkan imaginasi yang nakal. Pastinya.

Jangan membayangkan yang aneh-aneh. Malam itu kami tidak melakukan apa-apa selain tidur di lantai beralaskan karpet, berselimutkan kain tipis, satu berdua. Tidur berpelukan dan merasakan hangatnya nafas masing-masing, melawan dinginnya udara. Kami terdiam, tidak saling berbicara. Pikiran kami melayang entah kemana. Meresapi setiap detik dan menit yang terjadi sebelum kamar pengantin ini ada. Sebelum akad nikah itu terucap. Sebelum tanggal 10 bulan 11 tahun 2012.

Hari itu resepsi pernikahanmu berjalan dengan lancar, meriah dan khidmat. Kulihat ada aura kebahagiaan di wajah  setiap orang, khususnya mama dan papa. Senangnya bisa mengenal keluargamu. Aku tidak lagi dianggap orang asing atau sekedar tamu. Tapi sebagai keluarga, bagian dari anggota keluarga. Buktinya adalah seragam yang aku pakai hari itu, tidak ada bedanya dengan seragam keluarga inti. Terharu.

Ditengah acara, aku selalu mencuri pandang ke arahmu yang duduk di pelaminan sana. “kamu akan baik-baik saja, Mut. Mulai sekarang bukan aku lagi yang akan menjagamu, tapi dia, laki-laki yang duduk di sampingmu”. Apa ini? Sepertinya fotografer itu menyadarinya. Beraninya dia mengambil gambarku kala menatapmu. Aish..merahnya muka ini.

Aku mau pamit. Keesokan harinya setelah acara selesai.

Tapi ada yang mengganggu pikiranku. Curhatmu semalam membuatku sesak nafas. Kala kita berbincang tentang kita di masa depan. Seuntai nasehat dan harapanku padamu dalam menjalani kehidupan berumahtangga. Semua kamu tanggapi dengan luka dan airmata. 

Hanya dengan cara ini supaya mereka tidak curiga kak. Adek tidak pernah mencintainya. Bisa menerima pernikahan ini hanya karena rasa kagum saja. Dia memang baik. Tapi rasa itu bukan rasa yang adek rasakan terhadap kakak. Sosok kakak tidak akan pernah tergantikan, oleh siapapun, sampai kapanpun. Tidak akan sanggup adek hidup tanpa kakak. Setelah semua ini, apa kakak akan meninggalkan adek?”.

Seperti tersengat lebah, aku tidak mampu berucap apapun. Bukan kata-kata seperti itu yang aku bayangkan. Dan tentu bukan yang aku harapkan untuk aku dengar saat itu. Permintaan maaflah yang seharusnya kamu ucapkan padaku. Bentuk penyesalanmu karena memilih menikahinya. Meninggalkanku setelah semua yang terjadi antara kita. Harusnya kamu seperti itu. Harusnya pernyataanmu menjawab pergolakan hatiku kala di perjalanan malam itu. Harusnya... Harusnya tangisanku tidak sia-sia.

Terdiam beberapa lama. Kami kembali sibuk dengan pikiran masing-masing.

" Kenapa tidak katakan itu sebelumnya? kenapa sekarang?" Aku menatapnya lagi.

"Sebelumnya dah pernah dek bilang kan sama kakak. Sikap kakak seolah mendukung. Kakak ga pernah menahan dek, atau setidaknya berusaha mempertahankan dek. Adek ga ngerti jalan pikiran kak. Kakak selalu terlihat plinplan. Kadang sikap kakak seolah menginginkan dek, tapi terkadang tidak seperti itu. Kakak tidak pernah meminta dek untuk tinggal di sisi kak."

Setiap kalimat yang diucapkannya seperti mencabik-cabikku. Aku merasa bodoh. Dan tidak berdaya. Orang bodoh memang selalu tidak berdaya.
 
"Apa dengan menikahinya adalah sebuah pilihan yang melegakanmu?" Aku berusaha menahan air mata. Tidak ingin menangis di depannya.

"Paling tidak untuk saat ini, itu adalah pilihan yang tepat kak. Pa n ma alasan selanjutnya. Tidak ingin membuat mereka kecewa."  Kamu menangis. "Tapi adek butuh kakak untuk mendampingi adek. Ga kan sanggup adek berjalan sendiri." Aku mengusap air matanya. Kami saling menguatkan dengan membagi kehangatan lewat pelukan.
 
Goyah. Itulah yang terjadi padaku. Setelah semua yang aku lakukan untuk menata hatiku kala perjalanan malam itu, sekarang runtuh seketika. Ternyata aku tidak cukup kuat.

Jeritan hatiku malam itu.

Kenapa? Skenario apalagi yang Engkau rencanakan, Tuhan? Bagian mana yang aku lewatkan sehingga drama ini belum juga usai?  Harusnya aku tidak bertanya lagi padaMu. Aku tau bagian mana yang aku lewatkan. Tidak mengakui diri sepenuhnya, benarkan, Tuhan? Hah..Lantas apa artinya jika aku mengakui dengan sesadar-sadarnya diri, Engkau merestui? 

          
Dalam perjalanan pulang, kembali airmataku meleleh lagi. Aku ingat setelah pembicaraan panjang kami malam itu, kami memutuskan untuk saling menghubungi dan mengetahui kabar satu sama lain. Aku berjanji padanya untuk tetap mendampinginya dengan caraku. Tetap menjadi kakak baginya. Tetap memelihara cinta ini untuknya, seperti yang ia lakukan.

Bagi yang membaca tulisan ini, pasti menganggap kami melakukan kebodohan yang dibuat-buat. Terlalu mendramatisir keadaan dan menjerumuskan diri sendiri pada kesakitan. Memang benar adanya. Kami melakukan kebodohan. Kami telah berbuat jahat. Kami menjadi pengkhianat. Kami menodai janji pernikahan. Berjanji untuk tetap menjaga hati, membenarkan ‘cinta itu tidak pernah salah’, egoiskah?







Potongan Memori (Part 1)

Mungkin banyak yang bertanya siapa kamu sebenarnya Mut. Aku akan mencoba menceritakan sedikit tentang kita di sini. Ini akan menolongku di masa depan. Mengingat memoriku yang semakin samar tentang kamu. Sungguh aku tidak ingin itu terjadi.
Jujur, rasa ketertarikanku padamu bukanlah pada awal perjumpaan kita. Begitupun rasamu padaku. Rasa itu tumbuh seiring berjalannya waktu. Tahap demi tahap kedekatan kita, mungkin bukan unsur yang disengaja. Tapi tidak bisa juga  dibilang sebuah kebetulan, karena dalam hidup ini tidak ada yang namanya kebetulan. Pada hakikatnya semua sudah diatur olehNya.
Hal-hal yang kita lalui semua berawal dari sebuah kebaikan, yang menurutku kebaikan itu sendiri akan terjadi karena adanya keramahan. Keramahan berbalas keramahan. Perhatian berbalas perhatian.  Rentetan-rentetan yang sebenarnya tidak kita pahami kemana arahnya. Sejak saat itu ada semacam perasaan asing yang mulai tumbuh dalam hatiku. Awalnya aku berfikir itu hanya semacam kasih sayang seorang kakak kepada adiknya, karena memang usia kita terpaut cukup jauh, 4 tahun. Dan secara aku adalah anak bungsu, tapi sempat aku tanyakan padamu, bagaimana rasanya memiliki seorang adik, kamu menjawab “sangat menyebalkan, bikin sakit kepala dan bikin jengkel..”.Hehe.. Jawaban yang mengundang tawa.
Waktu terus berlanjut. Oya, kamu memang orang yang beruntung. Ciuman pertamaku kamulah yang merenggutnya. Ah, itu terjadi begitu saja. Tidak begitu ingat bagaimana proses kejadiannya, tapi sayangnya kamu bilang itu adalah ciuman terburukmu yang tidak ingin kamu ingat. Betapa kita begitu canggung menjalani hari setelah ciuman itu. Berusaha untuk menganggap semua tidak pernah terjadi.
Potongan memori yang hilang berikutnya adalah proses bagaimana kita bisa tinggal bersama, satu kamar, dimulai sejak kapan, dan kenapa. Tidak banyak yang aku ingat. Hanya saja Stay bersamamu banyak mengubah hidupku, hidupmu, hidup kita. Semua mengalir begitu saja. Kata yang bisa menggambarkannya mungkin adalah ‘kenyamanan’. Kita nyaman dengan adanya ‘kita’.
Kamu yang manja dan penangis seperti baby, tapi itu hanya kamu tunjukkan kala di depanku saja. Di luar kamu dikenal sebagai perempuan mandiri, kalem, pendiam dan satu lagi, cerdas. Jujur, aku suka apa pun yang ada dalam dirimu. Aku jatuh hati pada gadis imut dan ‘manja’. Dan sayangnya aku tidak ingat bagaimana itu terjadi. Kapan pertama kali aku dan kamu mengucapkan kata ajaib ‘love you’. Kapan kita pertama kali saling menyentuh. Menelanjangi. Menyatukan hati. Bergumul dengan cairan, peluh dan desahan. Menikmati desiran-desiran cinta dan birahi. Semua nyata dan hanya saja sekarang samar.
Keterbukaan satu sama lain pelan-pelan membingkai kita. Kamu mulai berani bercerita tentang perjalanan cintamu. Perempuan mana yang pernah singgah di hatimu. Yang sempat ‘jadian’ atau yang hanya sekedar ‘lirikan’ saja. Ada juga laki-laki yang pernah mendekatimu. Seberapa dekatnya kalian, dan bagaimana akhir dari rasa itu. Katamu menerima laki-laki itu hanya untuk ‘penyamaran’. Berusaha senormal mungkin menjalani hari-hari. Menciptakan kesan ‘hetero’ bagi keluargamu dan teman-temanmu. Dan semua itu masih kamu jalani dan aku jalani saat kita bersama.
Aku. Mungkin pernah aku memperhatikan beberapa teman perempuan. Tapi tidak dalam kata ‘jadian’. Yang aku tau waktu itu perasaan itu hanya sebagai sahabat. Itu yang berusaha aku tekankan pada diriku. Dan tidak berani mengakui lebih. Tidak untuk kata ‘suka’ atau ‘jatuh cinta’. Terlalu takut mengakuinya. Pernah memperhatikan teman laki-laki. Pernah beberapa kali menjalin hubungan juga dengan laki-laki, tapi aku merasa lelah dan terlalu membosankan. Sudah bisa ditebak, hubungan itu bubar begitu saja.
Mengakuimu sebagai perempuan yang aku suka dan aku jatuh cintai dengan begitu gilanya bukanlah tanpa luka dan darah. Asa dan ragu terlalu sering menghampiriku, bergelayut dan menanamkan kemarahan,  ketidakberdayaan. Kenapa kamu harus perempuan? Kenapa kamu tidak laki-laki saja? Biar aku tidak perlu menyembunyikanmu. Saat itu kamu seperti ranting kecil di antara dedaunan. Dan kita seperti bunglon dengan mimikri-nya. Terlalu sesak untuk dipikirkan.
Kita terhadap keluarga masing-masing terbilang dekat. Karena aku dan kamu berjanji  akan menerima dan mengenal siapa orang-orang terdekat kita. Berada di antara mereka, kita berusaha memperlihatkan hubungan kakak adik. Tapi mungkin masih terlihat saling care ‘yang tidak wajar’. Kata mama, kita seperti lem dengan perangko yang tidak bisa dilepaskan. Begitu lengket. Lebih kurang aku menangkapnya seperti itu. Karena pada saat itu beliau mengucapkannya dalam bahasa daerah dan aku lupa bagaimana menyebutkannya. Taukah mama bagaimana kita? Mungkinkah kalimat itu bentuk halus dari kata ‘pacaran’ untuk kita? Memang naluri orang tua sangat peka, apalagi menyangkut anak-anaknya. Merinding aku. Berharap bukan seperti apa yang aku bayangkan.
Waktu begitu singkat. Tidak terasa studi Diplomamu memasuki finish dan melanjutkan ke jenjang S1. Sedangkan program sarjanaku juga hampir kelar. Tapi sempat tertunda karena aku memutuskan untuk kerja sambil kuliah. Niat semula untuk mencari pengalaman. Tapi ternyata terlalu sulit bagiku mengatur waktu, apalagi jarak tempat kerja dengan tempat kuliah lumayan membuat lelah. Kota A dan kota B, itu berjarak tempuh 6 jam perjalanan darat. Harus bolak balik setiap minggu merupakan bukan pilihan yang baik. Yang lebih menyebalkan adalah kita harus terpisah. Terlalu sulit  menjalani semua itu.
Aku ingat betapa kamu menderitanya kala itu. Berat badanmu tidak lebih 37 kilogram. Dirimu tidak terurus. Sangat memilukan. Dan pintarnya kamu menutupi semua penderitaan itu dariku. Tidak pernah sekalipun aku mendengar keluhan dari mulutmu. Kenapa? Karena tidak ingin membebaniku? Maafkan aku.
Aku membayarnya. Tidak lagi kulanjutkan pekerjaan itu. Menyelesaikan skripsi yang terbengkalai dan merawatmu kembali adalah tekadku. Keduanya lebih berharga untuk diperjuangkan. Keadaan kembali normal. Nyaman. Bahagia. Dan yang pasti skripsi dan kamu terkendali.
Tanggal 10/11/2012. Adalah hari yang sangat bersejarah buat kita. Itu adalah hari dimana aku wisuda sarjana. Sedangkan kamu di’wisuda’ oleh seorang laki-laki yang sangat baik. Bagaimana semua kronologisnya aku tidak ingat. Semua sudah seperti itu saja. Apakah waktu itu aku menangis haru atau kelabu aku juga tidak ingat. Tapi samar-samar tergambar saat itu aku ketakutan dan khawatir memikirkanmu di sana sendirian tanpa aku dampingi. Yah, benar sekali. Kita sempat berbalas pesan tentang penyesalan kita karena tidak bisa menghadiri acara sakral itu. Tapi begitulah, semua terasa mudah karena kata-kata yang menguatkan.
Setelah menyelesaikan urusanku di kota A, aku memutuskan hari itu juga bertolak ke kotamu. Menghadiri resepsi pernikahanmu adalah tujuanku berikutnya. Perjalanan malam ku tempuh. Pesan-pesan kekhawatiranmu terus masuk ke inbox-ku. Bagaimana tidak, perjalanan yang seharusnya hanya 4 jam, molor menjadi 6 jam karena kemacetan dan cuaca buruk.
Di sinilah pergolakan hati itu terjadi. Bersama deru mobil yang membawaku, tetesan air hujan yang membasahi jalanan dan angin malam yang menusuk tulang, airmataku jatuh. Cairan hangat itu meluluh lantakkan pertahananku. Seolah bermimpi. Tidak lagi kurasakan lelahnya hari yang kujalani. Pikiranku melayang entah kemana. Lebih tepatnya, aku tidak merasakan apa-apa lagi selain jantungku yang sakit. Rasa sakit itulah bukti semua ini nyata adanya. Aku tidak bermimpi. Aku telah kehilanganmu.
Mencoba menggali memori perjalanan panjang yang telah kita tempuh bersama. Banyak hal yang telah kita torehkan. Kita lukiskan. Senang, bahagia, tawa, airmata, keterpurukan, keraguan, putus asa, prestasi, keyakinan, harapan, kemarahan, ego, sentiment, dan sentuhan. Semuanya membentuk semacam sulaman yang rumit. Bermotif tidak biasa. Hanya kita yang mampu menjelaskan makna setiap helainya. Dan dalam sekejab semuanya akan terkubur begitu saja. Berakhir seperti ini sajakah?

(Bersambung…)